2. Rewind

21 3 0
                                    

Siapa menyangka seorang Bobby Arizki Dwicaksono pernah merasakan patah hati? Oh ralat, pria itu sedang patah hati atau sudah sampai titik masih patah hati. Pria dengan penampilan semerawut itu pernah terkapar di sebuah club malam hanya karna ditinggal cinta pertama sekaligus pacar pertamanya beberapa bulan yang lalu.

Fayra Auristela atau akrab dipanggil Fay adalah sahabat Aleta -kakak Bobby- mereka pertama kali bertemu saat Aleta akhirnya berhasil menyeret Bobby masuk ke universitas yang sama dengannya.

Bobby menyukai Fay pada pandangan pertama. Sayangnya, Fayra sedang menyukai seorang pria bernama Kiano yang notabene juga merupakan teman Aleta. Bagai gayung tak bersambut, perasaan Fayra tidak terbalas karena Kiano sejak lama sudah menyukai Aleta.

Rumit memang, jika dilihat akan lebih semerawut dari rambut Bobby yang tak pernah tersentuh sisir.

Bobby berjuang selama 1 tahun untuk mendapatkan hati Fayra, memberi perhatian sedikit demi sedikit hingga akhirnya mereka berdua mengikrarkan diri sebagai sepasang kekasih. Tentu saja kegemparan terjadi di kampus, seorang Fayra yang wajahnya mirip salah satu girlband korea mau dengan seorang Bobby yang tidak terlihat jelas masa depannya.

Bobby tidak peduli dengan kasak kusuk di sekitar kampus. Persetan dengan ucapan ia tidak layak bersanding di samping Fayra, memangnya yang berkomentar tau sebanyak apa ia berjuang untuk memenangkan hati wanita itu?

Hubungan Bobby dan Fayra tidak berlangsung lama, hanya bertahan 8 bulan kurang seminggu hingga akhirnya mereka putus. Tidak ada drama orang ketiga, tidak ada drama Bobby terlalu cuek dan Fayra terlalu banyak menuntut perhatian. Hubungan mereka kandas karena akan ada jarak yang terbentang luas di antara keduanya karena Fayra harus berangkat ke Jerman bersama keluarganya.

Bobby terlalu pintar menutupi dirinya yang patah, bahkan pria itu masih bisa tegar untuk mengantar Fayra ke bandara, memberikan pelukan perpisahan seraya berucap kalau berjodoh semesta akan kembali mempertemukan keduanya.

*

"Baru pulang mbak?"

Bona bertanya ketika merasakan kasurnya sedikit bertambah beratnya di samping, sebelum setelahnya ada sebelah tangan yang merengkuhnya dalam pelukan. Tidak ada jawaban, hanya gumaman penuh dengan sarat lelah yang menyambutnya.

Bona memaksakan kedua matanya yang sudah terpejam untuk kembali terbuka, mendapati Nara Prameswari Pertiwi yang memejamkan mata padahal masih tampak sapuan eyeshadow yang belum dibersihkan di kelopak matanya. Tapi kantung mata hitam di depannya jelas menggambarkan sebagaimana lelahnya kakak perempuannya itu menghabiskan hari ini sehingga bahkan untuk bangkit membersihkan make up di wajahnya saja ia tidak sanggup. Mata Bona menyipit untuk menangkap jarum jam yang sudah menunjuk angka satu dini hari.

Perlahan gadis itu menyingkirkan tangan kakaknya sebelum mendorong bahunya agar terlentang. Tangannya mengusap kelopak matanya sendiri agar setidaknya ia bisa terjaga beberapa menit untuk membersihkan wajah sang kakak. Tangannya bergerak mengambil kapan dan micellar water yang berada di nakas kamar yang terletak di samping kasur, kemudian terduduk untuk menjalankan misinya.

Pengorbanannya melawan kantuk hanya untuk sekedar mengurani kemungkinan jerawat tumbuh di wajah kakaknya tentu tidak sebanding dengan pengorbanan sang kakak selama ini untuknya. Ketika ayahnya pergi dari rumah tanpa alasan yang jelas dan menghilang tanpa jejak meninggalkan dirinya, sang ibu dan Nara hingga tak lama kemudian ibunya meninggal karena sakit sakitan dan stress sepeninggal ayahnya, Naralah yang mengambil peran orang tua dalam hidup Bona.

Bagaimana Nara yang mulai belajar mengolah keuangan mereka dari peninggalan sang ibu yang hanya dapat dibilang cukup untuk mereka hidup pas-pasan. Usaha kecil-kecilannya saat mereka sekolah demi menambah ekonomi mereka, perjuangannya belajar mati-matian demi mendapatkan beasiswa hingga kuliah sambil bekerja sebagai sekertaris cabutan saat libur kuliah di firma firma hukum daerah tempat mereka tinggal atau sekedar menjadi tenaga bantu sementara apabila ada kegiatan administrasi saat masa kuliah aktif. Hingga akhirnya ia sendiri dapat bekerja penuh dan merambat naik karirnya. Semua itu Nara lakukan agar mereka dapat hidup normal seperti keluarga lainnya. Normal dalam artian mereka tidak perlu cemas akan sandang, pangan, papan dan pendidikan Bona terjamin.

Nara seorang pekerja keras, Bona tahu itu di luar kepala. Yang ia tidak tahu mengenai Nara itu, adalah ketika suatu sore di akhir pekan ketika mereka sedang bersantai di ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang makan di rumah yang mereka sewa kakaknya itu bertanya sesuatu yang cukup aneh.

"Bona, kalau aku mau mencari ayah gimana?"

Bona mengerutkan kening, raut wajahnya merupakan perpaduan antara bingung dan kesal.

"Buat apa mbak nyari orang yang udah ninggalin kita?"

Bona bahkan tidak bisa menyembunyikan nada ketus saat menanyakan hal retoris itu. Nalarnya tidak sampai pada atas dasar apa sang kakak mau mencari ayah mereka.

"Gimana kalau ayah ternyata ninggalin kita bukan karena ayah mau, tapi karena ayah terpaksa?"

Bona terdiam. Sebenarnya kemungkinan itu bukannya tidak pernah juga terlintas di kepalanya, tapi rasanya aneh saat dikatakan secara gamblang begini.

Tidak ada jawaban atas pertanyaan Nara itu, pun sampai sekarang percakapan mengenai topik itu tidak berlanjut. Tapi dari sana Bona yakin ada hal yang disembunyikan darinya oleh sang ibu dan Nara. Apapun itu yang membuat Nara sampai berpikiran untuk mencari kembali sang ayah.

Bona membuang kapas yang berisi residu make up yang tadinya menempel di wajah Nara ke dalam tempat sampah kamar sementara Nara masih terlelap. Bona duduk di tempat tidur sambil memperhatikan nafas teratur Nara.

'Kenapa mbak mau cari ayah?'

*

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang