17. Ngapain?

13 2 0
                                    

"Yuk, pulang."

Bobby menghampiri orang tuanya dan Aleta yang sedang berdiri bersama, entah membicarakan tentang apa.

"Ngapain? Bapak mau ketemu calon mantu." Bapak berkata yang disambut anggukan ibu dan Aleta.

"Calon mantu siapa sih?" Bobby malah balas bertanya dengan nada malas. Membuat ibu menepuk lengannya pelan karena dirasa kurang sopan dengan sang bapak.

"Nah, ini Bona. Lo ditinggal Bobby ya, Bon? Emang kelakuan ini anak."

Bobby menoleh dan mendapati Bona yang sudah tersenyum sopan ke arah mereka. Gadis itu mengangguk sopan sebelum menyapa.

"Nggak kok, kak. Emang tadi ada yang diurus sedikit. Om, tante."

Tentu saja Bona berbohong. Tidak mungkin kan ia bilang 'iya nih kak, Bobby pergi gitu aja nggak jelas'? Kayaknya bisa habis Bobby oleh kakak perempuannya ini. Bona berjalan maju kemudian mengulurkan tangan, salim dengan bapak dan ibu Bobby dengan sopan.

"Capek ya pasti bantuin mbakmu?" Ibu Bobby menimpali dengan ramah yang disambut anggukan Bona dan senyum ramahnya.

"Iya tante, cuma seneng kok bantuin Mbak Nara"

'Biar tetep sedih dikit sih', terus Bona dalam hati tanpa berani ia lisankan.

"Sekalian belajar, Bon. Soalnya kalau ini anak mah mana mau diajak ngurusin yang ribet begitu." Aleta menimpali sambil menyikut Bobby. Membuat Bobby yang daritadi berdiri diam dengan ekspresi dingin hanya berdecak kecil.

"Eh? Tapi Bobby banyak bantu juga kok, Kak." Bona melirik Bobby sekilas sebelum kembali menatap Aleta, belum berani menatap Bobby lama-lama. Takut melihat ekspresi pemuda itu.

"Dih, serius? Kesambet apa lo? Hahaha," tawa Aleta terputus deheman ayahnya juga sang ibu yang mencubit pelan lengannya.

"Salam buat mbakmu ya, om bawa pulang dulu ini sebelum perang di sini."

Ayah Bobby dengan sengaja menatap kedua anaknya sambil berdecak dan menggelengkan kepala kecil. Bona, yang jarang sekali beradu mulut dengan Nara, malah sebenarnya sedikit iri dengan hubungan Bobby dan Aleta yang tampak manis. Rasanya rasa sayang keduanya disampaikan dengan cara yang jauh berbeda dengan dirinya dan Nara.

"Aku anter ke depan, om."

Ayah dan ibu Bobby awalnya menolak, tapi akhirnya menyetujui. Sebelum Bobby berbalik untuk menyusul langkah ayah, ibu dan kakaknya, dengan refleks Bona meraih telapak tangannya dan menggenggamnya. Bobby bahkan sempat tertegun sambil menatap Bona penuh tanya, meski tidak ada jawaban dari Bona selain genggamannya yang mengerat dan langkah yang ia sejajarkan dengan langkah Bobby. Bona sendiri tidak tahu kenapa ia melakukan hal itu, yang ia tahu ia tidak ingin Bobby pulang dengan keadaan emosi -terlebih emosi pada dirinya. Jadi yang terpikirkan olehnya adalah menyampaikan permintaan agar ketidak jelasan Bobby berhenti dengan genggaman tangannya.

* * *

Pagi itu cukup nyaman, matahari tidak terlalu terik karena tertutup mendung tipis. Alih-alih membungkus tubuhnya dengan selimut, Bona sudah rapi dengan rok tenis berwarna hitam dan kemeja kuning salemnya. Beberapa kali ia merapihkan ujung rambutnya juga poninya sebelum memencet bel rumah di hadapannya. Ia sampai harus mengecek alamatnya dua kali ketika ojek online yang ia pesan menurunkannya di depan gerbang tinggi berwarna hitam yang menjulang mengelilingi rumah yang sekali intip saja bisa ia perkirakan 5 kali lipat lebih besar dari rumah yang ia tinggali dengan Nara.

Rasa gugupnya sebenarnya semakin bertambah ketika yang menyambutnya di balik gerbang adalah wajah ibu Bobby.

"Assalamu'alaikum, tante."

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang