8. Unexpected

8 2 0
                                    

Bona kembali memutar bola matanya gemas mendengar timpalan Bobby untuk pamitan Rey. Meski ia juga cukup terkejut mendengar pertanyaan Bobby.

Bona tidak menjawab secara eksplisit, ia hanya mengambil buku menu untuk melihat makanan apa yang bisa memenuhi perutnya. Ia rasa ia perlu energi tambahan kalau memang ingin tetap di sini bersama Bobby dan makanan merupakan sumber energi yang paling dapat diandalkan.

"Jadi lo anaknya rekan Mbak Nara?"

Bona berusaha berbasa-basi tanpa melihat ke arah Bobby. Rasanya melihat foto potongan sandwich di buku menu jelas lebih menarik. Sekaligus berusaha menilai apakah Bobby bisa diajak berbicara dengan 'normal' tanpa melibatkan kenaikan emosinya secara signifikan dalam sedetik karena kalimatnya.

"Hmm bisa dibilang begitu," Bobby mengangguk kepalanya, mata menatap Bona yang sepertinya jengah dengan kelakuannya. Mungkin saat pulang ke rumah ia akan diomeli ibu habis-habisan karena sudah mengerjai anak orang. "Omong-omong, lo beneran ngga tau kalau gue itu calon lo?"

Bona menghembuskan nafas berat, mengangkat pandangannya untuk menatap kembali Bobby. "Calon apa sih maksud lo? Calon presiden? Ngaco aja daritadi, deh."

Kali ini Bona tidak dapat lagi menahan lidah tajamnya. Jelas, yang ia tangkap tentu saja Bobby sedang bercanda dan sedang berusaha menaikkan emosinya lagi. Dan ia sedang tidak ingin kalah.

"Calon ibu dari anak-anak guelah," jawab Bobby tidak terintimidasi dengan nada bicara Bona, "Tanya aja mbak Nara kalo ngga percaya," tantang Bobby pada Bona.

"Tunggu, lo tuh ngaco kayak biasanya atau serius sih?"Bona tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi. Apalagi Bobby dengan fasihnya menyebutkan nama kakaknya begitu saja daritadi. Seolah Bobby adalah salah satu rekan dekat kakaknya.

Bobby tersenyum mendengar pertanyaan Bona. Jelas wanita ini tidak mau berada di zona abu-abu seorang Bobby, pria itu memang terlalu sering bercanda hingga membuat lawan bicaranya sulit membedakan mana ucapan yang serius mana ucapan yang bercanda. "Gue juga maunya bercanda tapi muka nyokap gue serius banget," jawab Bobby apa adanya. "Heran gue, MRT udah masuk indonesia masih aja ngerencanain perjodohan."

Bona terdiam mendengar jawaban Bobby. Pemuda ini bercanda atau tidak sih?

"Jadi lo dijodohin? Sama gue?" Bona bertanya dengan telunjuk yang bergantian menunjuk Bobby dan dirinya sendiri.

"Nggalah, sama mbak-mbak yang itu tuh," jawab Bobby bercanda seraya menunjuk seorang wanita di balik meja kasir.

Jadi dari dua opsi untuk tidak meninggalkan Bona sendirian, Nara memilih opsi yang kedua. Perjodohan.

Masuk akal, dibanding mencari keberadaan ayah mereka yang sudah menghilang belasan tahun lamanya. Bukannya ia menerima juga opsi perjodohan itu —karena sama sama tidak jelasnya— tetapi dari semua calon perjodohan yang bisa dipilih Nara, kenapa harus Bobby?

*

"Gue mau pesen sandwich, lo ada yang mau dipesen lagi nggak? Mbak Nara nyuruh gue bayarin lo makan siang dulu sebelum dipulangin." tanya Bona sambil berharap tidak akan ada yang memperlihatkan cctv cafe ini pada Nara. Bisa habis ia nanti karena berbicara tidak sopan pada Bobby seperti ini.

"Bener dibayarin kan?" Bobby memasang seringai licik di wajahnya, tangannya membolak-balik buku menu yang sudah diambil tanpa permisi dari Bona dan berniat mencari menu paling mahal.

Persetan dengan keharusan pria membiayai wanita pada kencan pertama, kalau rezeki kenapa harus ditolak?

"Iya, dibayarin." Bona menjawab singkat. Meski sesaat ragu melihat seringaian yang terlukis di wajah Bobby. Mari berharap pemuda ini tidak menguras tabungan pernikahan kakak perempuannya saja.

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang