9. Alasan

6 1 0
                                    

"Jadi gimana Bobby?"

Bona sungguh sedang berusaha tidak terlihat kesal. Ia sengaja pulang dengan senyumnya yang biasa dengan sekotak nasi goreng yang ia bawakan untuk makan malam berdua dengan Nara. Ia juga dengan sengaja tidak menyinggung mengenai bagaimana kakaknya menjebaknya untuk bertemu Bobby dengan dalih membantunya mengurus dekorasi untuk acara pertunangannya.

Tapi kakak perempuannya itu malah memilih membahasnya ketika ia bahkan sudah lupa setelah membersihkan diri dan duduk di meja makan, siap menyantap nasi goreng yang sudah dipanaskan Nara. Bona menghembuskan nafas pelan.

"Bona nggak ngerti sama cara berpikir Mbak."

Bona mengutarakan dengan segera pikiran yang daritadi ia tahan. Bahkan sendok yang sudah ia angkat untuk menyendok nasi gorengnya ia letakkan kembali.

"Mbak udah pernah ketemu Bobby?"

Kali ini Bona yang melontarkan pertanyaan. Siapa tahu Nara ini cuma pernah mendengar cerita sepihak dari rekan kerjanya itu, tanpa pernah bertemu dengan Bobby secara langsung. Atau mengetahui sebagaimana benarnya Bobby itu. Orang tua biasanya hanya menceritakan sisi baik anaknya, seperti sedang berlomba siapa yang memiliki berlian paling indah.

"Belum. Tapi Mbak udah diceritain kok dia anaknya gimana."

'Nah kan', batin Bona penuh kemenangan.

"Gimana emang katanya Bobby?"

Nara bahkan tidak terlihat gentar. Ia dengan santai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, menyelesaikan satu kunyahan dengan santai mengabaikan Bona yang sedang menanti jawabannya.

"Anaknya urakan, nggak pernah bisa diatur, keras kepala, kalau ngomong juga katanya mirip sama kamu gitu nggak bisa dikontrol. Cuma kalau dia lebih ngaco aja ngomongnya, kalau kamu kan pedes, Dek. Kayak gado-gado dikaretin dua."

Bona berdecak kecil sebal. Nara tahu dan dia tetap mengajukan ide itu?

"Mbak tahu dia begitu, terus masih mau coba jodohin aku sama Bobby?"

Pertanyaan Bona bernada menuntut. Setengah kesal juga dengan kalimat terakhir Nara. Ia kalau bertutur kata tidak sepedas itu kok, cuma agak kelewat jujur saja. Kalau itu ia akui. Yang membuat Bona tambah kesal, Nara malah tertawa kecil mendengar pertanyaan tuntutannya.

"Emang kamu segitu nggak sukanya Dek sama Bobby sampe kesel begitu, hm?"

Alih-alih menjawab Nara malah bertanya sebelum memasukkan sekeping kerupuk ke mulutnya.

"Ya habis Mbak, dia tuh ngeselin. Kalau ngomong nggak bener, masa pertama ketemu aku dikatain PMS suruh beli kiranti? Kan nggak sopan."

Bona menyemburkan kekesalannya pada Nara lalu menggigit bibir bawahnya sekilas tanda ia sedang menumpahkan emosinya.

"Tadi dia ngomongin kamu begitu?"

Bona menggeleng cepat.

"Nggak, waktu di kampus."

Nara mengangkat alisnya sekilas.

"Di kampus? Kalian udah kenal sebelumnya berarti?"

Mendengar nada tertarik pada kalimat tanya Nara barusan malah membuat Bona semakin kesal. Ia menghembuskan nafas pendek yang sengaja ia keraskan dengan gusar.

"Belum, baru tadi kenal benernya. Waktu itu ketemu di tukang sate ayam, mana dia pake ngerebut satu porsi sate ayam terakhir di sama lagi."

Bona menyalurkan kekesalannya kali ini dengan menyuap besar-besar nasi goreng di hadapannya. Nara terkekeh kecil.

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang