3. Jodoh(in)

20 3 0
                                    

"Hati sehat, Bob?"

Pertanyaan memuakkan yang selalu Bobby dengar dari mulut Aleta setiap kali bertemu selama beberapa bulan terakhir. Bobby benci akan pertanyaan yang mengingatkan dirinya bahwa ia tidak dalam kondisi baik-baik saja.

"Bacot!" Jawab Bobby kesal sambil melempar bantal sofa ke arah Aleta. Bukannya marah, Aleta justru tertawa keras melihat tingkah adiknya yang selalu ngegas jika disinggung soal keadaan hatinya.

"Bobby yang sopan sama kakakmu!" Tegur sang ibu dari arah dapur. Bobby memutar mata jenggah, meskipun anak tunggal yang disayang justru Aleta bukan dirinya.

"Berasa Aleta yang cuma anak ibu," sindir Bobby pada sang ibu yang selalu menganaktirikan dirinya. "Tolong itu mulut anak kesayangannya dilakban bu, tiap ketemu kok tanyain hati orang mulu, aku sumpahin ngerasain patah hati baru tau rasa."

Pletak!

Koran pagi sang bapak mendarat tepat di atas kepala Bobby, membuat cowok yang baru saja selesai mandi itu mengiris kesakitan dan melihat sang pelaku yang masih berdiri di anak tangga terakhir.

"Kamu itu Bob ngga cukup apa rambut aja yang berantakan kok ya mulut juga ikutan berantakan?!" Semprot sang bapak yang kini sudah ikut duduk bersama Bobby di sofa.

"Hatinya juga berantakan, pak!" Seru Aleta yang kini berani bergabung di sofa karena ada sang pembela. "Kita jodohin aja yuk, pak! Ta'aruf juga bisa, siapa tau hatinya Bobby bisa sembuh."

"Anjrit! lo pikir gue ikhwan yang kebelet nyari akhwat." Sembur Bobby tanpa bisa mencegah kata-kata kasar keluar dari mulutnya.

"BOBBY!"

"Maaf kelepasan, pak," ucap Bobby dengan raut wajah menyesal. Bobby memang punya kebebasan untuk bergaya urakan tapi jika di dalam rumah ucapan kasar tidak boleh terlontar dari mulutnya. "Habisnya Aleta.."

"Tidak ada pembelaan diri, Bobby. Salah ya salah, ngga usah cari alasan lain." Potong sang bapak sebelum anaknya meneruskan ucapan.

Bobby hanya menganggukkan kepala pasrah mendengar wejangan dari sang bapak. "Dan ide Aleta bagus juga."

"HAH GIMANA PAK?" Jerit Bobby lengkap dengan wajah terkejutnya. Ini lebih mengejutkan dari ucapan Fayra yang akan pergi ke Jerman.

"Soal jodohin kamu. Siapa tau kelakuan kamu berubah kalo dapet jodoh yang tepat." Sahut sang bapak dengan tenang.

"Hahahahaha brengsek ya brengsek aja pak, mustahil kalo aku berubah karena orang lain." Ucap Bobby menyangkal ide gila sang bapak.

"Ngga ada yang mustahil di dunia ini, Bob." Aleta menyuarakan pikirannya. Awalnya ia hanya bercanda tapi kalau dipikir-pikir seorang Bobby memang harus dipaksa untuk membuka hati. Aleta hanya takut jauh di dasar hati Bobby masih mengharapkan Fayra kembali.

"Pokoknya ngga mau!"

"Memangnya bapak memberikan kamu pilihan?"

*
Pagi ini Bona memasakkannya nasi goreng dan telur mata sapi sebagai sarapan mereka. Bona sendiri masih mengenakan pakaian tidur berupa kaus mickey mouse dengan sablonan yang sudah pudar dan celana pendek kotak-kotak, sementara Nara sudah rapi dengan atribut kerjanya padahal waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Wajar bagi seseorang yang tinggal di pinggiran ibu kota dan bekerja di pusat kota.

Bona meletakkan gelas berisi air putih di samping piring Nara, sementara sang kakak sedang menyantap sarapannya dengan sebelah tangan yang sibuk menggulir laman di ponselnya.

"Bona, pendapatmu tentang pasangan nikah muda apa?"

Bona yang baru akan memasukkan sesuap nasi goreng ke mulut jadi urung.

"Mbak mau nikah?"

Sendok yang tadinya sudah di depan mulutnya jadi turun kembali ke atas piring.

"Bukan mbak maksudnya."

Nara menjawab sambil mengibaskan tangan di sela kunyahan nasi gorengnya.

"Kalau kamu mbak jodohin mau dek?"

Bona menatap datar Nara. Ini antara kakak perempuannya itu kelelahan jadi melantur di pagi buta atau ia masih bermimpi. Tapi kalau mengingat nasi goreng yang sempat ia cicipi tadi —meski belum jadi ia makan karena Nara malah mengajaknya berbincang dengan topik melantur begini— rasanya bukan yang kedua. Bona hanya mendenguskan nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala kecil, memutuskan untuk melahap saja suapan nasi gorengnya dibanding mendengar pertanyaan ngawur Nara.

"Mbak serius, nih."

Bona mengunyah sambil menatap manik mata Nara, yang balik menatapnya dengan tatapan yang menegaskan bahwa ia tidak bercanda. Bona yang awalnya yakin bahwa kakaknya sedang kelelehan itu jadi ragu.

"Dijodohin?"

Nara mengangguk dengan raut wajah meyakinkan sekali lagi. Bona menyipitkan matanya, terakhir kali Nara memilihkan sesuatu untuknya adalah sebuah dress berwarna kuning muda dan motif bunga-bunga —yang sangat bukan stylenya. Apa pula ini dijodohkan oleh Nara? Dipilihkan pria oleh kakaknya?

"Nggak mbak, nggak perlu."

Nara menggeleng-gelengkan kepala kecil sebelum tampak berpikir.

"Nggak, kamu perlu itu."

Kakaknya tampak bergumam sambil menatap layar ponselnya, entah apa yang dilihat olehnya di sana hingga ia baru sadar bahwa ia sudah hampir terlambat dari jamnya berangkat biasanya.

"Aduh, mbak berangkat ya."

Dengan langkah terburu kakak perempuannya itu berdiri, mengulurkan tangan untuk disalimi oleh Bona kemudian melesat keluar meninggalkan Bona sendiri di meja makan.

Nara tahu adiknya itu tidak akan pernah bisa menolak permintaannya. Dan benar saja, Bona yang sedang menyantap nasi gorengnya sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kenapa tiba-tiba ngomongin jodoh? Tunggu, tapi maksudnya dijodohin ini dikenalin aja kan?

Ujungnya Bona memilih untuk tidak terlalu ambil pusing, bisa saja Nara lupa nantinya sama seperti pembahasan tentang ayah mereka tempo waktu. Karena kedua topik pembicaraan itu memiliki esensi yang sama, acak tanpa konklusi.

*

InfinitumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang