Sahabat Baru, Salsa
(2005)
3 tahun berlalu...
Setelah lika-liku perjalanan panjang keluarga kecilku, hari ini bapak diterima kerja sebagai supir pertamina. Aku bersyukur, karena setelah sekian lamanya bapak punya pekerjaan tetap selain membantu mamah berjualan di rumah.
“Bapak berangkat ya. Do’ain biar rezeki bapak lancar. Biar anak-anak bapak bisa sekolah.” Senyum lembut terpatri di wajah lonjongnya.
“Aamiin. Kerjanya yang betul, biar Mamusong bisa naikkin pangkatmu.” Ujar mamah seraya memasangkan kancing kemeja biru bapak.
“Iya yang, shalat jangan ditinggal ya. Do’a yang banyak.” Katanya sambil mencium kening mamah dengan lembut.
“Aa, Su. Jangan nakal ya di rumah, jangan berantem.” Ucap bapak kepada kakakku dan aku sambil mencium kedua pipi kami.
“Aa tuh, suka jailin neng!” Aduku sambil mengerucutkan bibir dengan manja.
“Baru dikasih tau, udah berantem aja.” Sahut teh Wulan. Diikuti tatapan mengejek dari kakakku.
“Keun we pak, nanti kalau berantem Mpi kunciin di kamar mandi.” Timbal teh Novi yang akrab dipanggil Mpi.
“Yaudah, bapak berangkat dulu ya.”
Mamah, aku dan ketiga kakakku mencium tangan bapak dan mengantarnya ke teras. Menatap punggung tegapnya hingga hilang di ujung jalan.
“Lan, Mpi. Nanti senin depan kalian daftar ke SMP yang di Serang ya.” Kata mamah.
“Yaah mah, gak boleh sekolah di sini aja ya?” Tanya teh Wulan dengan nada kecewa.
“Iya mah, Mpi juga pengen sekolah di sini. Biar gak pulang pergi jauh.” Sahut teh Mpi.
“Kalian kan harus jagain Mak Oyot (nenek) di Serang. Pulangnya setiap libur caturwulan aja.” Tegas mamahku.
“Yaudah deh.”
Hari ini aku berencana keliling desa. Menyapa tetangga yang beberapa tahun terakhir turut jadi bagian kisah hidupku di sini. Aku mengayuh pedal sepeda dengan santai. Menapaki setiap titik jalan yang ada di desa. Cuaca hari ini lumayan cerah, namun tidak begitu panas. Jadi aku tetap bisa menikmati udara sejuk di sini. Sebetulnya aku tidak begitu hafal pelosok jalan desa, maklumlah aku ini anak rumahan. Sekalipun bermain, hanya di sekitar rumah. Lalu saat aku tiba di jalan desa tepatnya sebelah kiri dari ruas jalan, aku melihat anak perempuan sedang menuntun sepeda mungilnya. Tanpa ragu aku menghampirinya.
“Eh kamu!” Sapaku pada anak perempuan itu.
“Ya ampun! Kaget aku.” Anak perempuan itu memutar tubuhnya dengan raut terkejut.
“Aish hehe, maaf ya. Namaku Intan, kamu siapa?” Ujarku sambil menjulurkan tangan.
“Hm, aku Salsa.” Jawabnya dan menjabat tanganku.
“Kamu mau kan temenan sama aku? Harus mau ya pokoknya!”
“Eh? Ya-yaudah deh. Kamu baru pindah ke sini ya? Mukamu asing.”
“Udah 3 tahun kok. Emang gak pernah keluar lingkungan rumah aja. Soalnya gak punya temen hehe. Makanya kamu harus jadi temenku!” Jawabku dengan antusias.
“Yaudah deh, jadi kita temenan ya. Rumah kamu dimana?” Tanya Salsa.
“Kalau lewat dari sawah, tuh itu rumah yang warna putih.” Jawabku sambil menunjuk rumahku.
“Tapi kalau mau lewat jalan, muter balik ke sana, belok kiri, ikutin jalan. Terus abis itu lurus aja, terakhir belok kiri.” Lanjutku.
“Oh iya, deket rumah pak Ustad Hasyim ya? Kalau rumahku yang itu.” Salsa menunjuk rumahnya yang ramping tapi berlantai 2. Tepat di belakangnya.
“Oke deh! Nanti aku samper kalau mau main. Kamu mau kan main sepeda bareng?”
“Mau kok. Aku juga bosen, soalnya Lia jarang di rumah.”
“Lia?” Aku mengulang nama yang Salsa sebut tadi.
“Iya, Lia itu tetangga sekaligus temenku dari kecil.”
“Emang kamu udah gede ya sekarang?” Tanyaku polos.
“Hahaha, iyaya. Aku malah lebih kecil dari kamu.”
“Yaudah Salsa, aku pulang dulu ya. Nanti aku samper dan kita sepedahan bareng. Daah!”
“Oke, awas kesandung rumput ya Tan!” Kata Salsa dengan tawa khasnya yang cempreng.
Aku hanya tertawa, sambil berkata dalam hati. Mana ada kesandung rumput? Terinjak ban sepedaku saja sudah ciut dan layu. Haha, dia itu lucu. Hari ini aku punya teman baru yang asyik dan baik. Tidak, aku anggap dia sahabat! Yap, sahabat baru yang lucu. Salsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST
Short StoryBukan maksud menyalahkan takdir-Mu ya Allah. Hanya, bolehkah aku pinjam kisahku di masa itu?