(2)

36 1 0
                                    

Awal yang Membahagiakan

(2003)

“Sayang, hari ini kita akan pindah ke rumah baru kita, kalian siap-siap ya. Mamah sama bapak mau kemas barang-barang juga.” Teriak mamah dari dalam kamar.

“Iya mah.” Teriakku dan kakakku hampir bersamaan.

Aku dan kakak laki-lakiku bergegas masuk ke rumah untuk melaksanakan perintah dari ibu negara. Aku 5 bersaudara, 3 kakak perempuan tiri yang terdiri dari teh Lia, teh Novi dan teh Wulan serta satu kakak kandung laki-laki yang bernama Imam terhitung aku sebagai si bungsu.

“Su, udah selesai belum? Kalau udah, cepet mandi. Gantian sama aa.” Panggil bapakku seraya memberikan mandatnya.

Oh iya, panggilan kesayanganku dari bapakku itu bungsu, seperti yang telah aku katakan sebelumnya aku mendapat gelar bungsu di keluargaku. Dan karena masih ada keturunan Sunda, aku memanggil kakakku dengan sebutan Aa, akupun biasa dipanggil Neng (kata mamah, ini panggilan kesayangan untuk anak perempuan).

“Iya pa, ini sedikit lagi selesai kok. Aa aja dulu yang mandi, masih gerah mau mandinya.” Jawabku.

 Setelah dirasa semua siap, kami pun bergegas pamit kepada keluarga dan tetangga sekitar. Kami menunggu angkutan umum di perempatan untuk pergi ke terminal, dan dilanjut naik mobil merah putih agar bisa sampai ke tempat tujuan.

Udara siang ini begitu sejuk, tidak panas tidak juga mendung. Suhunya nampak pas untuk bepergian dengan angkutan umum yang begitu sesak. Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan setiap lekuk jalan. Mematri setiap detail kenangan selama aku tinggal di kota ini. Kota yang sesak, namun tetap terasa nyaman. Aku pasti akan merindukan kota kecil ini, meskipun hanya sebentar aku tinggali

.

“Kamu gak ngantuk? Perjalanan masih lumayan jauh lho.” Ujar mamah ketika aku sedang menikmati lekuk jalan.

“Belum mah. Masih mau nikmatin jalan, kan kita bakal tinggal di rumah baru. Takut kangen hehe.” Jawabku yang terdengar ingin menangis.

“Kok sedih gitu jawabnya? Emang gak seneng ya kita pindah ke rumah baru kita sendiri? Rumah yang lebih layak daripada kontrakan kita selama ini.” Tanya mamah.

“Ah bukan gitu mah. Seneng kok, seneng banget malah. Tapi neng bakal kangen temen-temen neng di sini.” Jawabku cemas.

“Oh gitu. Yaudah, nanti di sana juga kamu dapet temen baru lagi. Ya siapa tau aja lebih banyak dan bikin kamu nyaman.” Kata mamah mendengar kecemasanku.

 Aku kembali menikmati jalan. Kakakku sendiri sudah tertidur pulas, mamah dan bapakku juga. Aku senang, memiliki orang tua yang penyayang, dan kakak yang juga perhatian. Meski aku adalah si bungsu, namun aku sedikit lebih dewasa dari kakak laki-lakiku. Bahkan kakak laki-lakiku dan satu-satunya ini lebih penakut. Jadilah aku yang tak jarang malah melindunnginya, disaat seharusnya aku yang dilindungi. Tapi aku senang, meski sering menjahiliku dia amat penyayang. Kami bahkan mendapat julukan ‘Si Kembar’ dari orang-orang sekitar karena dimana ada aku, ada kakakku, begitupun sebaliknya. Kami sangat dekat, dan seperti tak terpisahkan. Bahkan beberapa benda/barang yang kami punya sama. Kata bapakku, agar tidak ada yang saling iri jadi dibelikan hal serupa.

 Setelah kurang lebih 2 jam perjalanan, akhirnya kami turun di bahu jalan. Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Karena daerah yang ramai pemukim, dan jalan yang tidak begitu luas. Sepanjang perjalanan, aku menikmati suasana sore di sini.

Meski ramai penduduk, namun udaranya masih terasa sejuk. Dan betapa senangnya aku ketika melintas di persawahan yang hijau asri. Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta pada warna hijau. Aku berlari kecil dengan penuh antusias, bahkan aku berada jauh di depan sendirian. Maklumlah, bocah 3 tahun kerap hyperaktif ketika melihat sesuatu yang menarik.

“Neng, pelan-pelan jalannya. Liat-liat ke bawah, nanti kalau jatoh bajunya kotor kena lumpur.” Nasehat mamahku melihat aku yang begitu senang.

“Iya mah, ini masih jauh apa udah deket mah? Kok gak nyampe-nyampe ya?” Teriakku dari ujung pembatas sawah.

“Makanya pelan-pelan. Centil banget sih lari-larian, nanti pas jatuh mah nangis seharian. Kayak tau jalan aja.” Cibir kakakku yang baru terdengar suaranya.

“Bodo sih, iri aja jadi orang. Daripada kayak aa, jalan leha-leha kayak belum makan 2 hari.” Jawabku sinis.

“Su, tunggu di situ, nanti turun ke bawahnya Apaa gendong biar gak jatoh.” Perintah bapak(aku sendiri memanggilnya dengan sebutan Apaa).

“Iya pa, neng tunggu di sini.” Jawabku seraya duduk di sisian sawah.

 Aku begitu menikmati setiap jejak langkahku di sini, aku suka—sangat. Aku rasa, aku akan betah tinggal di sini. Yaa meskipun aku butuh adaptasi dan mencari teman baru lagi. Beberapa saat aku duduk menunggu, akhirnya mamah, bapak dan kakakku sampai di posisiku. Akupun langsung naik ke punggung bapak yang sudah siap menggendongku dengan tas yang ditenteng di kedua tangannya. Aku merentangkan tanganku ke udara layaknya sedang terbang di awan. Aku merasa berada di atas bukit, karena bapakku mempunyai tubuh yang tinggi menjulang.

“Aaaaaa, liat deh neng mah terbang dong digendong Apaa. Emangnya aa yang jalan sendirian, emang enak wlee.” Ejekku seraya menjulurkan lidah untuk membuat kakakku iri.

“Masa bodo. Kamu pendek, jadi gak bakal bisa jalan di galengan yang naik turun ini. Yang ada kamu nyungsep ke sawah, jadi cumi-cumi nemenin belut.” Cibir kakakku yang malah membuatku kesal.

“Dasar aa jelek!” Kesalku.

“Kamu lebih jelek.” Jawabnya datar.

 Aku tidak lagi ingin menjawab cemoohannya. Aku mengalihkan pandanganku ke persawahan yang luas. Namun tiba-tiba bapakku berhenti di depan sebuah rumah putih yang memiliki halaman begitu luas lengkap dengan gudang dan sumur yang ada di sebrangnya.

“Apaa, kok berhenti sih?” Tanyaku heran.

“Ini udah sampe, Su. Ini rumah baru kita.” Jawab bapak lembut.

“Woah, rumahnya gede ya pa. Neng bakal betah di sini.” Jawabku antusias.

“Yaudah yuk masuk. Beresin barang-barangnya.” Tukas mamah.

Kamipun melangkah masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Kebiasaan yang selalu diterapkan ketika memasuki rumah. Rumah baru kami cukup luas, nuansa putih lebih mempertegas unsur luasnya. Ada ruang tamu yang dilengkapi sofa, aquarium besar yang di atasnya ada dua kipas besar sebagai hiasan, dan lukisan Mekkah dari kain besar di dinding. 2 kamar tidur, ruang TV, dapur, dan kamar mandi. Selesai melihat setiap sudut ruangan, kamipun bergegas merapihkan barang-barang karena hari sudah mulai petang. Hari ini, aku merasa sangat bahagia.

LOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang