(5)

13 1 0
                                    

Hari Sahabat Sedunia

 
Aku bangun lebih awal hari ini. Rasanya lebih bahagia dari hari kemarin. Setelah sarapan pagi seperti biasa, aku ikut mengantar bapak ke teras yang sudah menjadi rutinitas wajib keluarga kecilku.

“Apaa, neng punya temen baru lho. Hari ini mau main!” Seruku dengan begitu senang.

“Wah, siapa namanya Su? Tapi mainnya jangan nakal ya, kalau waktunya makan pulang dulu. Jangan capek-capek.” Ujar bapak dengan petuahnya yang selalu aku pegang.

“Namanya Salsa, rumahnya di sebelah kiri jalan sana, Paa. Siap kapten!”

“Yaudah, bawa sepeda kan? Pelan-pelan aja ya, biar gak jatuh. Bapak berangkat dulu.”

Bapakku itu aneh-aneh saja, sepedaku roda empat. Mana mungkin aku jatuh? Namun aku hanya mengangguk penuh semangat sambil mencium tangannya. Dan seperti biasa, bapak mencium kening mamah dan pipiku juga kakak-kakakku.

Kali ini aku memakai baju pink dan celana balon kesukaanku. Rambut hitam panjangku dikepang rapi oleh mamah. Dan poniku menutup dahiku yang luas seperti lapangan desa. Aku bergegas mengayuh sepeda menuju rumah Salsa untuk menghabiskan waktu bersama. Setelah beberapa lama, akhirnya aku sampai di depan rumahnya.

“Salsaaaa.” Panggilku dengan nada yang panjang bergelombang andalan anak seusiaku.

Seorang ibu-ibu keluar ke arahku dengan gamis panjangnya. Wajahnya bulat dan masih terlihat muda, pasti itu mamahnya Salsa.

“Eh siapa ini? Cantiknya. Temen Salsa ya? Salsanya masih mandi di belakang. Sini duduk dulu.” Sapanya dengan ramah.

“Iya mamah Salsa.” Jawabku sambil tersenyum.

“Namanya siapa?” Tanyanya sambil menaruh teh di depanku.

“Intan.”

“Oh, namanya cantik sama kayak orangnya.”

“Hehe makasih mamah Salsa.”

Aku tersenyum malu karena dipuji begitu. Tidak lama setelah itu, Salsa datang dari samping kanan dengan sepeda mungilnya. Akupun bangun dari dudukku.

“Yuk, Tan. Udah lama ya?” Tanyanya.

“Lumayan. Kamu mandinya lama kayak putri duyung.” Jawabku dengan canda.

“Ehehe, maaf. Yaudah yuk. Amah, Salsa main dulu ya sama Intan.” 

“Yaudah, jangan jauh-jauh ya.”

Setelah pamit, aku dan Salsa mulai mengayuh sepeda mulai mengelilingi desa kami yang lumayan luas ini. Terik matahari pagi ini tidak begitu terasa karena aku dan Salsa begitu bersemangat. Mulai dari posyandu, mushala, pos kamling sudah kami lalui. Karena sudah merasa lelah, kami beristirahat di bawah pohon seri di dekat rumahku. Seketika lelahku hilang, dan berganti ingin memanjat pohon di sebelahku ini. Akupun memanjat dan bersiap memetik seri sebanyak mungkin untuk amunisi.

“Sal, aku mau ambil seri dulu ya. Lumayan nih buat nambah bensin perut.”

“Emang kamu bisa manjatnya, Tan? Nanti jatoh tau rasa.” Salsa mengingatkan.

“Tenang aja, inimah aku jagonya!” Jawabku penuh semangat.

“Yaudah, aku yang nangkepin serinya dari bawah sini ya.”

Aku mengangguk dan mulai memanjat dengan lihai. Maklumlah, aku sudah terbiasa memanjat pohon jambu air di kebun rumah. Jadi bukan hal asing untukku. Dan aku memang suka dengan hal-hal baru juga menantang. Mamah bilang, aku mungkin harusnya terlahir sebagai anak laki-laki, karena kelakuanku yang seperti laki-laki. Haha, tapi aku tetap perempuan kan?

“Sal, nih tangkep. Pasang baju kamu buat jadi tempat.” Teriakku dari atas pohon.

“Siap! Sini lempar!”

Hasil jerih payahku hari ini lumayan banyak, baju Salsa sampai kotor karena terkena sari seri yang lengket. Dan dari tadi pun dia menggerutu soal itu, hahaha.

“Kalau tau bakal kotor, mending aku pasang keranjang sepeda aja! Huh!” Salsa mengomel sambil melahap seri sampai mulutnya penuh.

“Sesuatu butuh pengorbanan! Hahaha. Impaslah, aku juga kotor karena manjat kok.” Jawabku seraya menertawai Salsa yang masih mengomel.

Kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan dan pulang. Hari ini terasa menyenangkan. Setelah sekian lama bermain di kebun sendirian, akhirnya aku bisa bermain dengan seorang teman. Salsa berhasil menciptakan warna baru di hidupku. Dan hari ini, aku memutuskan untuk mencetuskan sesuatu...

 Hari sahabat sedunia!

LOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang