(7)

16 1 0
                                    

Surat yang Tak Pernah Sampai

Aku benar-benar dilanda kesepian yang mendalam. Aku bosan. Rasanya bermain dengan Salsa pun tidak mengobati bosanku ini. Sudah 3bulan berlalu, dan aku terus merasa rindu. Hanya kertas ini yang menjadi penyalur rinduku. Menuliskan seberapa sesaknya aku. Dalam aksara yang penuh kerinduan, aku tuliskan surat bertuan yang tidak pernah sampai ke pangkuan. Bukan karena sengaja, namun aku tidak tahu bagaimana caraku untuk mengirimkan rindu ini ke pemiliknya. Jadilah hanya aku simpan di laci aquarium di ruang tamu.

Surat yang tak pernah sampai ini biarlah menjadi saksi bisu atas segala rinduku. Rindu pada raga yang selalu menjagaku sepanjang hariku. Aku jadi berpikir, apakah ini cara Tuhan membalas kenakalanku pada mereka? Jika iya, ini sungguh menyiksa. Andainya bisa, aku berjanji tidak akan nakal lagi ataupun menjahili mereka lagi, asal mereka tetap di sini bersamaku. Aku rindu.

Aku rindu keduanya yang selalu menjadi tempatku bercerita. Aku rindu mereka yang memberi tahu banyak hal.

“Teh, gak kangen rumah ya? Katanya mau pulang, tapi kok gak pulang-pulang? Neng bosen main sama Aa atau Salsa terus. Neng kangen sama teh Wulan sama teh Mpi.” Lirihku hampir tidak terdengar. Dan airmatapun luruh di pipi gembilku.

Inilah yang aku lakukan ketika dilanda kerinduan. Larut dalam tulisan tangan yang berantakan. Wajarlah, aku belum sekolah. Ini hasil kerja kerasku belajar bersama kakak-kakakku. Berkat mereka aku bisa menulis, menghitung dan membaca. Meski kemampuan menghitungku tidak sebaik kakak laki-lakiku, namun dalam hal menulis dan menghafal aku lebih unggul.

Aku menyimpan surat ini di laci aquarium, seperti biasa. Berharap mereka merasakan rinduku yang tertahan.

LOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang