part 6

18.4K 997 40
                                    

Ceklek.

"Assalamualaikum." Bunyi suara pintu dibuka, disusul ucapan salam dari seseorang yang sejak pagi menyandang status sebagai suami Ayesha Wijaya.

"Waalaikumsalam," jawab wanita itu sekenanya tanpa melihat ke arah sumber suara. Bukankah menjawab salam hukumnya wajib? Dia tak mau berdosa dengan mengabaikan salam orang.

Yesha berdiri di ambang pintu balkon kamar. Menatap rembulan yang bersinar temaram di langit gelap malam. Mengumpulkan puing-puing kenangan bersama orang yang dirindukan. Apa yang sedang dilakukannya di sana? Apa dia bisa melihat bulan yang sama? Apa lelaki itu juga merasakan apa yang dirasakan Yesha? Rindu, perih, kecewa dan cinta menjadi satu dalam benak wanita itu. Sesak. Rasanya tak bisa melanjutkan hidup lagi. Separuh jiwanya telah pergi. Untuk apa lagi hidup di dunia ini?

'Narendra, ke mana kau pergi?'

---***---

"Ayesha ...." Suara pria itu membuyarkan lamunan istrinya.

Yesha membalikkan badan dengan pandangan ke lantai. Sampai detik ini pun, dia tak tahu bagaiman wajah suaminya. Berdiri mematung menunggu kalimat yang terlontar dari suaminya.

"Ganti gaunmu. Ayo kita salat Isya' lalu dilanjutkan salat sunah." Hilmi masuk ke dalam kamar mandi, untuk ganti baju dan bersuci. Yesha masih termenung.

'Salat? Dia mengajakku salat? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku salat. Oh, ya Tuhan ... sejauh itukah aku kepada-Mu?'

Kembali bulir bening menetes membasahi pipinya. Selama ini dia lalai menjalankan kewajibannya sebagai hamba. Apa ini hukuman atas kelalaiannya?

Setelah beberapa saat Hilmi keluar kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong putih polos dan sarung coklat garis-garis.

"Yesha, apa almarimu masih menyisakan tempat untuk beberapa baju yang kubawa ke sini?"

Hilmi mendapati tubuh istrinya bergetar, menangis dalam diam, terduduk bersandar di pintu balkon, membuat alisnya bertaut, lalu melangkah menghampirinya.

"Aku tahu ini berat bagi kita. Besok kita bicara. Sekarang ayo kita salat dulu lalu istirahat. Kamu pasti sangat lelah, 'kan?" Setelah mengatakan kalimat itu, Hilmi beranjak mengambil baju takwa dan peci di kopernya.

Dia merasakan tidak ada pergerakan dari wanita itu. Dibalik kembali badannya menatap wanita yang masih memakai gaun pengantin yang sangat indah tersebut dengan nanar. Wanita itu masih setia mematung dengan air mata masih membasahi matanya.

"Yesha ..." Kembali dipanggil lagi nama istrinya dengan lembut karena masih saja mematung.

"Aku tak tahu apa Tuhan akan menerima salatku." Suara Yesha bergetar, matanya memejam mengingat dosa-dosanya.

"Kenapa kau berpikiran seperti itu? Apa kau melakukan dosa besar sehingga Allah tidak menerima taubatmu?" Kata-kata Hilmi menusuk lubuk hati Ayesha. Wanita itu memejamkan mata dan menggeleng pelan dalam isakan tangis. Dia menggeleng karena merasa dosanya sangat besar.

"Aku lupa kapan terakhir kali aku salat." Kalimat pengakuan itu tiba-tiba terlontar dari mulutnya tanpa aba-aba.

"Astagfirullahhal'adzim ...." Hilmi terkesiap, memegang dadanya sambil beristigfar. Belum apa-apa, tugas sebagai imam yang diembannya sudah berat.

Dia pikir, mungkin tidak akan sulit menjadi imam istrinya walau mereka belum kenal. Karena Yesha berasal dari keluarga yang pintar dan berpendidikan. Setidaknya mereka rutin melaksanakan kewajiban setiap hari sebagai hamba Allah. Tapi, pengakuan istrinya tadi membuatnya terhenyak tak menyangka seperti itu keadaannya.

IMAM PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang