"Ustaz Hilmi, maukah kau menjadi suami Laili?"
DEG!!!Permintaan Abah Said berhasil membuat jantung bekerja tak karuan. Semakin keras denyutan yang dirasa, pasokan oksigen pun serasa berkurang, sangat menyesakkan dada. Tubuh menegang seketika. Alam seolah ikut bereaksi dengan turunnya rinai gerimis dari langit nan gelap. Disambut embusan angin yang saling berdesakan menusuk pori-pori kulit.
Seumpama permintaan ini disampaikan sebelum akad nikah itu terlaksana, maka pasti Hilmi akan menjadi orang yang paling bahagia. Bisa mempersuntingwperempuan salihah nan cantik parasnya dan cerdas pula. Terlebih rasa yang selama ini dipendam dalam diam bisa menjadi nyata.
Namun ... sekarang Hilmi sudah beristri. Walau jalan mendapatkannya termasuk miris menurut orang kebanyakan. Tapi dia menerima takdir itu dengan ikhlas. Dan berjanji akan selalu berusaha menjaga ikatan suci tersebut. Tak mungkin semuanya terjadi jika Allah tidak berkehendak demikian.
Sosok pria berkharisma itu menatap Hilmi lekat seolah mengiba. Sungguh miris menatap mata teduhnya. Cairan bening sudah berkumpul di bola mata Hilmi dan ingin berontak keluar, tapi masih bisa dia menahan. Hilmi menghela napas panjang, berusaha menormalkan putaran oksigen di dada.
"Maafkan saya, Abah. Tapi, saya--"
"Assalamualaikum ...." Suara salam dari segerombolan orang terdengar dari arah pintu, melangkah masuk menuju brankar Abah Said berbaring. Sepertinya para jamaah pengajian yang dipimpin abah di masjid desa. Setelah menjawab salam, beberapa detik kemudian, muncul pula Laili bersama uminya. Sedari tadi, umi pamit ke kantin untuk membeli sesuatu. Sekarang kembali membawa satu kresek makanan bersama putri bungsunya yang masih bisa membuat jantung Hilmi berdetak lebih cepat.
Lelaki itu menjatuhkan pandangan ke lantai saat berhadapan dengan Laili. Sempat bertegur sapa dengannya yang juga menundukkan kepala. Mendengar suaranya menjawab salam saja, membuat jantung kebat kebit.
'Kuatkan hamba, Ya Rabb. Lindungi hamba dari zina hati.'
Hilmi mencoba mengingat wajah sang istri saat berpamitan kapan hari. Saat melihatnya pertama kali memakai mukena, juga saat matanya terlelap di hadapan.
'Alhamdulillah ...,' batinnya.
Sedikit berkurang debaran tak tahu diri tersebut. Hilmi melanjutkan dengan membaca istigfar beberapa kali sampai jantung berdetak mendekati normal.
Hilmi melirik arloji sudah menunjukkan pukul 17.21. Sebentar lagi waktu salat Magrib. Dia berpamitan undur diri kepada Abah Said juga yang lain. Dengan Laili, hanya saling mengangguk sopan. Setelah itu meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk.
'Semoga abah hanya bergurau dengan permintaannya tadi.'
---***---
Sementara itu di sebuah kamar, seorang wanita bersujud lama di atas sajadah. Dia memohon pada Tuhan agar diberikan hati yang lapang untuk bisa menerima kehadiran suaminya. Walau belum sepenuhnya ikhlas dengan takdir yang diterima, dia berusaha menjaga hubungan yang baik dengan sang suami.
Dia percaya Allah bisa membolak balikkan hati hamba-Nya. Semoga perasaan yang selama ini bercokol di hati untuk Rendra, bisa sirna seiring berjalannya waktu.
Ada kerinduan yang belakangan menyelusup dalam benak. Kerinduan akan sosok baru yang mulai menapaki sisi hati. Setiap bangun tidur, pandangannya selalu tertuju pada sofa yang biasa dipakai suami untuk tidur. Kadang kala, dia membaringkan tubuh lelah di sofa tersebut sambil mengendus aroma si empunya. Dia berpikir apa keterlaluan membiarkan suaminya selalu tidur di sofa? Ternyata pegal juga dirasa. Tapi suaminya tak pernah mengeluh saat bagun tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAM PENGGANTI
Spiritual#2 - kisahcinta 18/04/2019 Ayesha Wijaya, gadis modern, seorang desainer muda, mestinya akan menikah dengan Narendra Atmadja. Namun sayang, pria itu meninggalkannya tanpa alasan yang jelas, sehari sebelum hari pernikahan. Padahal, undangan telah dis...