Part 10

20K 1K 36
                                    

Yesha menoleh ke arah Hilmi. Dia tidak menyadari kehadiran suaminya karena sedari tadi fikirannya terbang jauh ke kenangan bersama Rendra. Menatap wajah suaminya sekilas lalu memandang rembulan kembali.

"Apa kau mau ikut?" Walau Hilmi tahu jawaban yang akan diberikan Yesha, tetap saja dia menawarkannya untuk ikut ke Malang.

"Maaf, aku tidak bisa," jawab Yesha lemah. Entahlah. Dia belum bisa memikirkan kehidupannya ke depan. Pertemuan singkat dengan Rendra kemarin membuatnya semakin tidak berdaya. Harapan mendapatkan jawaban yang ditunggu-tunggu harus sirna karena sikap menghindar Rendra.

"Tak mengapa. Aku mengerti." Hilmi melangkah masuk ke kamar membawa rasa kecewa. Berbaring di atas sofa mengistirahatkan raga. Tubuhnya lelah hari ini. Tapi batinnya lebih letih.

---***---

Bangun pukul tiga dini hari seperti hari-hari sebelumnya. Keluar dari kamar mandi, Hilmi hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang. Dia tersentak ketika melihat istrinya yang sudah bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.

"Aku tak melihat apa pun!" pekik Yesha sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Eh ... maaf... maaf... aku pikir kamu belum bangun. Maaf ya ...."

Hilmi salah tingkah karena sadar dia sedang topless di depan Yesha. Sebenarnya memang begitu kebiasaan Hilmi sejak bujang. Hanya saja sejak menikah, dia menghormati istri yang masih menganggapnya orang asing, sehingga dia ke luar dari kamar mandi sudah memakai kaos dan celana atau sarung. Sekali ini dia lupa membawa baju ganti ke kamar mandi, bertepatan dengan Yesha sudah bangun dari tidurnya.

"Iya gak pa-pa. Aku mau ke kamar mandi dulu." Yesha turun dari ranjang dan ngacir menuju kamar mandi tanpa melihat ke arah Hilmi yang sedang mencari baju di almari. "Untung saja dia tidak melihat mukaku. Maluu ...," gerutu Yesha di dalam kamar mandi sambil mengipaskan telapak tangan ke wajah untuk menyetabilkan detak jantungnya.

Selesai mandi dan wudu, Yesha ikut menggelar sajadah di belakang Hilmi. Lelaki berbaju takwa itu menyarankan untuk salat Tahajud. Mengajari bacaan niat dan cara melakukannya. Untuk doanya, diserahkan pada Yesha sendiri. Yesha mengikuti apa yang diberitahu Hilmi. Dia ingin lebih dekat dengan Sang Pemberi Ketenangan Hati. Zat yang bisa membolak-balikkan hati manusia.

Selepas azan Subuh, Hilmi yang biasanya salat di masjid, kali ini memilih jamaah di rumah bersama istrinya. Yesha hanyut dalam bacaan Al-Quran suaminya yang fasih dan menenangkan. Selepas salat dan berdoa, Hilmi berbalik menghadap istrinya yang tampak cantik natural walau tanpa makeup dalam balutan mukena.

"Sha, selama aku tidak di sini, kamu jaga diri baik-baik, ya. Jangan lupa salatnya juga. Insya Allah jumat sore aku ke sini lagi."

Yesha mengangguk. Entah kenapa tiba-tiba matanya berembun mendengar ucapan suaminya. Segera dia menunduk menatap sajadah. Seharusnya dia senang karena tidak ada orang lain di dalam kamar kalau suaminya pergi. Tetapi ... sebagian kecil sisi hatinya mengatakan lain.

"Kamu mau berangkat sekarang? Aku ... aku buatkan sarapan untuk bekal, ya?" Dengan ragu Yesha menawarkan diri membuatkan sarapan untuk Hilmi. Hilmi mengangkat sebelah alisnya, tak menyangka Yesha menawarkan sarapan yang dibuat sendiri.

"Serius? Kamu bisa masak?" Hilmi terkekeh pelan. Bukan mengejek, tapi dia lakukan itu agar Yesha tidak tegang berhadapan dengannya. Terbukti, wanita itu manyun setelah mendengar jawaban Hilmi.

"Ya sudah kalau gak mau. Aku malah seneng gak repot-repot siapain sarapan." Yesha melepas mukenanya, melipat dan bersiap menjauh dari Hilmi.

"Heeii ... jangan manyun, dong. Siapa yang bilang gak mau dibuatkan sarapan sama istrinya yang cantik? Aku tadi hanya spontan bilang begitu. Karena setahuku kamu gak pernah berada di dapur ikut masak sama Bik Minah." Hilmi membujuk agar Yesha tidak ngambek.

IMAM PENGGANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang