Mobil berwarna putih memasuki pekarangan rumah di sebuah kampung di pinggiran Kota Malang. Bangunan itu tidak besar juga tidak terlalu kecil. Itu adalah rumah kakek dulu yang direnovasi Hilmi dari hasil menabung pendapatannya berjualan baju muslim, sarung, sajadah dan keperluan ibadah lainnya.
Sejak di Mesir pun, dia kuliah sambil kerja di toko busana muslim dan kitab dekat kampus. Seorang pedagang dari Padang menerimanya bekerja di toko selepas pulang kuliah. Dari situ dia belajar ilmu marketing dan perniagaan.
Pulang ke Indonesia, Hilmi mencoba memasarkan baju muslim dan sarung punya teman di Pasuruan lewat online. Juga dengan menggelar lapak jika ada even pengajian umum. Alhamdulillah, Allah memberi kelancaran rizki. Dalam waktu kurang dari tiga tahun, dia sudah bisa mendirikan usaha konfeksi baju muslim kecil-kecilan. Bersamaan dengan sedang dibangunnya lembaga pendidikan 'Al-Muhlisin' kala itu.
Hilmi menggandeng para tetangga sekitar yang bisa menjahit dan memiliki keterampilan untuk bekerja di usahanya. Merk 'El-Ibrahim' melesat cepat sampai ke pulau Kalimantan dan Sumatra. Teknik pemasaran melalui kemitraan dengan teman-teman seperjuangan kala kuliah di Mesir, dan tetap melalui online juga. Selain itu Hilmi menerapkan harga yang kompetitif dan meningkatkan kualitas produknya. Semakin tahun semakin meningkat omset penjualan sampai bisa merenovasi rumah kakeknya menjadi layak seperti sekarang. Juga mobil yang dimiliki sekarang adalah bukti kerja keras yang dilakukan Hilmi dalam mencari rizki yang halal barokah.
Dulu, Haris sering menawarkan modal atau bahkan mau memberikan sebagian saham perusahaan untuk Hilmi. Tetapi dia menolak dengan sopan. Dia ingin berdiri dengan kakinya sendiri. Haris sudah terlalu baik dengan mengangkatnya sebagai anak, membiayai sekolah dan kebutuhan hidup sampai lulus kuliah. Sebagai gantinya, Hilmi menawarkan untuk pembangunan lembaga pendidikan Al-Muhlisin kepada Haris yang pada akhirnya sudah berjalan baik sampai sekarang.
"Ayo masuk," ajak Hilmi ketika sudah membuka pintu rumahnya dan mengucapkan salam.
Yesha melangkah masuk dengan mengucap salam. Lalu mengamati rumah tersebut. Rumah minimalis dominan warna putih, terdapat sofa abu-abu dan meja kayu bercat putih. Juga beberapa hiasan dinding yang tertata apik. Masuk ke ruang tangah, hanya ada satu karpet depan TV dan satu sofa panjang. Terdapat meja besi ukuran mini di pojok. Disebelahnya terdapat bufet yang penuh dengan buku-buku dan kitab-kitab bertulisan Arab. Ada sebuah musala yang bisa memuat kurang lebih empat orang. Dua kamar berukuran sedang, dapur, kamar mandi dan juga taman kecil di belakang rumah.
Mereka naik ke lantai dua. Di sana ada satu kamar tidur ukurannya lebih besar dari yang di bawah. Ada balkon yang menghadap langsung ke sebuah gunung di kota Batu. Udaranya segar dari sini. Di sampingnya ada sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, terdapat meja kerja dan bufet kayu yang biasa dipakai Hilmi sebagai ruang kerja dan ruang belajar. Selain mengajar di madrasah, Hilmi juga sering diundang menjadi pembicara di beberapa tempat.
"Ini kamarku. Memang tidak seluas kamar kamu, tapi insya Allah kamar ini nyaman, kok. Yaa ... maklum rumah desa," ujar Hilmi ketika mereka masuk ke dalam kamar.
Kembali Yesha mengamati kamar tidur dengan luas sekitar 5x4 meter tersebut. Di ruangan bernuansa monocrome ini ada sebuah bed besar, almari kayu bercat putih dan sebuah meja rias warna putih. Ada juga kamar mandi dalam yang mungil, hanya memakai shower, tanpa bak mandi.
"Aku harap kamu betah di sini. Walau tidak besar, tapi rumah ini punya semua bagian inti sebuah rumah. Ada musala juga di lantai satu. Kita bisa salat dan mengaji di sana. Bagaimanapun ini juga rumah kamu sekarang. Kalau tidak suka dengan penataannya, bisa dirubah sesuai keinginan kamu. Hehee ... maklum, aku tidak pandai dalam mengutak atik perabotan rumah. Yang biasa bantu bersih-bersih dan masak namanya Bu Nurya. Tapi sudah sebulan ini beliau ijin ke rumah anaknya di Madiun yang sedang lahiran."

KAMU SEDANG MEMBACA
IMAM PENGGANTI
Spiritual#2 - kisahcinta 18/04/2019 Ayesha Wijaya, gadis modern, seorang desainer muda, mestinya akan menikah dengan Narendra Atmadja. Namun sayang, pria itu meninggalkannya tanpa alasan yang jelas, sehari sebelum hari pernikahan. Padahal, undangan telah dis...