Insiden

2.7K 150 23
                                    

Malam itu, hujan lebat. Petir bergemuruh. Angin tak kalah beradu. Aku menutup semua pintu dan jendela di rumah ini. Memberikan adik-adikku jaket, kaos kaki, dan susu hangat.

"Kak, selimutnya mana? Masih kedinginan, nih!" ujar anak kecil yang lahir setelahku, Dian.

Adik yang satunya menyeruput susu hangat yang kubuat. Qiswa namanya. "Huek! Gak enak, nih. Jangan diminum, Kak Di!"

"Heh! Kakak gimana, sih? Harusnya sebagai seorang kakak harus ngertiin adek-adeknya, dong. Ngurusin anak bontot jangan setengah-setengah. Nanti aku bilangin Bunda, nih." ancam Dian.

"Hayoloh~" Qiswa tertawa.

Aku menunduk. "Ma-maaf. Aku akan buatkan kembali susunya, dan mengambil selimut untuk kalian,"

"Gak usah pake ngomong. Langsung action!" ucap Dian dengan nada tinggi.

Aku mengambilkan selimut untuk mereka dulu yang berada di masing-masing kamar. Lalu, membuatkan susu hangat di dapur. Aku pastikan susu buatanku enak. Memasukkan susu bubuk, sedikit gula, dan air hangat. Kucicipi sedikit, dan enak. Saat aku berjalan pelan menuju ke ruang di mana mereka menonton televisi, tiba-tiba...

BRAK!

KAKAAAAAAK !!! TOLONG !!! A....

Aku langsung berlari ke ruang televisi. Aku terkejut bukan main. Aku menutup mulutku, menahan air mata. Bibirku bergetar. Dua cangkir susu yang baru kubuat pecah berkeping-keping.

Aku melihat seseorang. Melesat dengan cepat melalui jendela. Hordeng yang jendelanya terbuka itu melambai-lambai terkena angin kencang. Rerintikan hujan masuk. Aku segera menutup jendela dan berusaha menyadarkan kedua adikku.

Masing-masing terkena satu luka tusuk di bagian perut.

Lututku lemas. Pikiranku kacau balau, tak karuan.

... Apa yang harus kukatakan pada Bunda ... ?

*****

"Kamu yang melakukan semua ini, Imelda?!"

Aku terdiam.

"Jawab!" Bunda mendesak.

"E... Enggak, Bunda. Sumpah, bukan aku,"

"Lalu siapa kalau bukan kamu, ha? Hanya kalian bertiga yang ada di rumah semalam. Mana mungkin ada orang lain!"

"Aku sedang membuatkan mereka susu hangat. Saat aku dalam perjalanan menuju ruang televisi, aku mendengar suara jendela terbuka dan teriakan mereka. Sontak aku langsung berlari dan... semua udah seperti ini, Bunda. Percayalah padaku!"

"Pembohong. Dari dulu kamu selalu mengkhayal. Bunda gagal jadi orangtua karena kamu. Bunda tau kamu dari dulu iri 'kan dengan mereka berdua?!" Bunda naik oktaf.

Aku mengepalkan tangan. Menunduk, menahan air mata. "Ya. Aku emang iri dengan mereka yang selalu Bunda manja. Saat Bunda pergi bekerja, aku seolah-olah menjadi pembantu yang seenaknya mereka caci. Meminta bantuan tanpa ada kata tolong, disertai makian. Aku selalu sabar menghadapi mer---"

"Sudahlah! Itu tandanya kamu memang iri! Dan kamulah pelakunya!"

*****

"Hei..." aku berdiri sejenak. Berjongkok, menyamai tinggi dengan batu nisan. Di sana tertulis kedua nama adikku. Dian dan Qiswa. Adik yang membuatku iri, namun aku sangat menyayangi mereka.

Surat Kecil dari Pulau Rintis (BoBoiBoy) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang