Sudah kubilang berapa kali? Aku tidak pernah bisa untuk tidak melibatkanmu dalam apapun yang kulakukan. Bahkan, ketika tidur kau kerap kali kutemui dalam mimpi. Kau sering kali membuatku berkeringat dingin ketika terbangun. Aku merasa kau benar-benar sedang di hadapanku, berbicara denganku, tersenyum padaku. Padahal, kita begitu jauh terpaut jarak. Kau pasti paham.
Entah kapan Tuhan akan mempertemukan kita kembali. Entah dalam suasana yang bagaimana, perasaan dan isi kepala seperti apa. Bahkan untuk yang sekarang, aku belum benar-benar mengerti. Mengapa ini begitu cepat. Namun, juga begitu mematikanku. Semenjak beberapa pertemuan kita, rindu menghajarku habis-habisan setelahnya. Dan hingga sekarang rindu masih memecutku ketika kuingat aroma tubuh dan sepasang mata teduh yang bersamaku malam itu. Milikmu. Mungkin, ini lebih dari apa yang orang-orang sebut dengan cinta.
Hingga pada hari itu, kau benar-benar membuatku tak habis pikir. Aku tidak pernah menyangka kau akan sampai hati melakukannya. Iya, kau tidak menepati apa-apa yang telah kau ucapkan sendiri.
Kau bilang akan selalu menemaniku, kau bilang tak akan meninggalkanku. Ah mana? Kau tak pernah menepati itu. Kau adalah orang yang pernah menjanjikanku tertidur di taman bunga dengan selembar surat cintamu. Kau juga yang menjanjikanku bermimpi di masa depan dengan memegang erat tanganmu. Namun kau, yang menghancurkan semua itu. Kau bawa ombak itu dan kau tuntun ia ke rumah kita. Tiba-tiba kau menjadi berubah. Menjadi orang yang tak pernah aku kenal. Kau adalah orang yang akhirnya mengatakan bahwa tak akan ada kisah cinta itu. Tak akan ada seorang lelaki berbahagia dengan wanitanya. Tak akan ada lagi sebuah istana yang akan kita gelar bersama. Istana yang dihiasi dengan bunga bermekaran di sekitarnya.
Aku masih ingat. Sebuah kata perpisahan yang menyakitkan yang kau kirim lewat sebuah pesan. Bagai debur ombak yang menghantam daerah sekitarnya. Sedang bermekaran, padahal. Bunga hati sedang mekar. Namun, kata perpisahan itu hadir begitu saja dan merusak memori hatiku di sekitarnya. Kau mengatakan bahwa ingin meninggalkanku karena aku salah. Aku adalah orang tersalah dan terbodoh di dunia. Aku ingin kita tetap bersama, namun kau mengatakan semua itu percuma. Akhirnya, kau bilang jangan peduli. Akhirnya, kau bilang hentikan semua ini. Rasa peduli, rasa cinta dan sebagainya.
Seribu kata berkecamuk dalam dadaku:
Bukankah kau yang membuatku begini? Kau yang memaksaku membuka hatiku, kau juga yang sengaja membanting pintu hatiku hingga hancur berkeping-keping. Kau yang membuatku berharap dengan kata-kata manismu, kau juga yang mengingkari semua itu. Kau membuatku terlanjur peduli hidup satu sama lain. Kini, aku telah habis langkah. Aku katakan bahwa aku sangat membencimu, meskipun sebenarnya tidak. Aku tidak mungkin membencimu, meski aku tak akan pernah melupakanmu, seorang wanita dengan omong kosong manis yang keluar dari bibirnya.Percayalah, aku tidak ingin menyalahkanmu. Aku memilih meng-iya-kan semuanya. Aku memilih diam, pura-pura tidak masalah. Seandainya kau tahu? Di balik itu dadaku seperti dipukul keras, lalu rapuh dan remuk. Dan kau, tidak peduli bagaimana aku menangis, berbicara dengan angin tentang sedalam-dalamnya kekecewaan. Kau tidak mau tahu bagaimana aku berusaha dengan segenap payahku untuk satu-persatu menyusun kembali remahan hatiku yang dengan sengaja kau hancurkan. Lagi-lagi, aku memilih diam dan tidak menuntut apapun darimu.
Ini bukan masalah aku terlalu berharap atau kau pemberi harapan palsu. Sama sekali bukan. Ini tentang sebuah janji. Janji yang begitu ringan diingkari. Sayangnya, seingkar apapun kau kepadaku, aku tidak mampu berbalik mengingkarimu. Karena dengan mengingkarimu, sama halnya dengan aku mengingkari hatiku. Bahwa aku tidak pernah ragu mencintaimu. Tanpa alasan apapun dan tanpa kau harus memberiku apapun.
Aku; adalah luka yang tak kau rawat, sakit yang tak kau obati, juga kepedihan yang tak kau hiraukan. Aku tak pernah berarti di matamu, tak pernah, dan memang tak akan pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAJAK-SAJAK PATAH
PoetrySeandainya kamu mengerti dan bisa pahami. Diamku bukan karena aku bisu, aku hanya sulit mengutarakannya lewat suara. Kutuangkan semua rasa dalam untaian kata saja. Biarkan tulisan ini yang berbicara. Selamat membaca