Aku memiliki banyak kenangan di tempat ini.
Kenangan bersamamu, tentunya..
Kau ingat tidak? Ketika kita duduk di pinggir jalan, melihat orang berlalu-lalang menjemput rindunya dengan penuh harapan. Atau sekadar menikmati suasana alun-alun dengan senja yang perlahan turun.
Kau ingat tidak? Ketika kita berkeliling di sepanjang jalan ini, seraya diguyur rintik hujan. Dan menjadikannya sungai aksara, tempat rasa menerjemahkan diri sebagai bahasa paling cinta. Mungkin, seperti itulah cara semesta meromantiskan kita
Kau ingat tidak? Ketika malam semakin menggigil, dan aku memakaikan jaketku untukmu. Sebab, sehatmu sangat berharga untukku. Sesederhana itu caraku memedulikanmu.
Namun, kini kau menjelma Dewi Durga yang murka
Kau tuang segelas ombak, hingga palung hatiku lantak dengan galak
Ah sial!
Seketika aku hanyut bagai nyawa di ujung maut
Dan di kedalaman matamu, Puan
Cinta hilang bentuk, bahkan nyaris remuk
Kita adalah saling yang semakin asing
Juga sepasang yang kian usang.
Ini tentang kau. Tentang aku. Tentang yang porak-poranda setelah diterjang ombak. Tentang yang punah setelah selaksa bulan bersama.
Inilah aku; tamu yang sehabis temu lalu semu
Akulah salah yang silih berganti
Akulah rumah yang tak akan lagi ramah
Dan aku bukan pilah yang pantas engkau pilih lagi
Terima kasih telah menjadi alasanku tersenyum setiap hari. Terima kasih juga atas patah hati yang kau beri!
KAMU SEDANG MEMBACA
SAJAK-SAJAK PATAH
PoesíaSeandainya kamu mengerti dan bisa pahami. Diamku bukan karena aku bisu, aku hanya sulit mengutarakannya lewat suara. Kutuangkan semua rasa dalam untaian kata saja. Biarkan tulisan ini yang berbicara. Selamat membaca