10

117 37 5
                                    

Chen membawa bahan masakan yang baru saja dibelinya dengan Irene ke kelas memasak. Padahal biasanya Irene beli online supaya tidak repot, tapi hari ini iseng ingin beli sendiri. Chen membantunya karena tak punya pilihan lain, lagi dia tak punya acara.

“Chen,” panggil Irene setelah lelaki tersebut duduk di salah satu kursi sambil menghela napas. Jiwa lelakinya yang gentle perlu istirahat karena sejak tadi dipekerjakan oleh sang bibi. “kau dengan Wendy dekat, ya?”

Hng? Kenapa memangnya?” tanya Chen aneh, pertanyaan Irene soal Wendy sangat tiba-tiba. Irene mengedikkan bahunya sambil masih membagi fokus antara dia dan list belanjaannya. Sibuk mengecek barangkali ada yang lupa dibeli. “Begitulah.”

Irene meliriki Chen dan bertanya, “Kau tidak menyukainya, kan?”

“Kenapa, sih?” tanya Chen akhirnya tertawa renyah. Irene hanya mengatakan asumsinya soal kedekatan mereka yang terlalu mencolok dari murid lain. Bahkan ada beberapa orang yang siap menyebar gosip soal hubungan mereka, mencari keuntungan dengan membawa nama panggung saudaranya.

Irene juga membahas soal kue yang dijaga baik oleh Chen, pemberian Wendy tadi. Kalau bukan karena ancamannya yang akan merebut paksa, lelaki itu mungkin takkan memakannya sampai pulang.

“Aku hanya nyaman berada di dekatnya.”

Chen menerawang ke hari-hari sebelumnya. Memang benar dia suka Wendy karena kepribadian gadis itu yang membuat mood-nya terasa makin baik sejak awal. Chen yang mulanya bosan harus dia apakan hari liburnya, kini ia benar-benar senang karena bisa menghabiskan waktu dengan orang baru yang membuatnya nyaris tertawa setiap hari.

Kata lainnya, kebosanannya selama ini dibayar oleh gadis tersebut. Kejenuhannya dalam dunia kerja teralihkan oleh sosok Wendy.

“Dia memang begitu sih daridulu,” kata Irene sambil tersenyum. “dia juga pekerja keras. Dulu sering sekali ingin ada jam tambahan untuk belajar. Yah … walaupun akhir-akhir ini dia sibuk sekali.”

Chen berdiri lalu membantu Irene membereskan sayuran ke tempatnya, sedikit tersenyum karena perkataan bibinya barusan. Ada perasaan bangga tersendiri saat Chen memilih orang yang tepat seperti Wendy untuk disukainya.

“Dengan begitu aku makin yakin …” katanya tiba-tiba sambil memilah beberapa susu vanilla dan cokelat. “… untuk mengungkapkan perasaan ini.”

“Tidakkah itu terlalu cepat?” tanya Irene. Ia cukup tak setuju dengan perkataan lelaki itu, keningnya mengerut tak terima.

“Tak perlu waktu lama untuk mengungkapkan perasaan suka. Aku tidak mau ada penyesalan kalau menunda-nunda,” kata Chen sambil tersenyum. “tenang saja. Aku hanya ingin mengungkapkan, belum tentu Wendy punya perasaan yang sama sepertiku.”

Irene cemberut, dia berangsur mendekat dan memeluk Chen dari samping.

“Aku tak ingin meruntuhkan keinginanmu, sejak dulu aku sayang sekali padamu.” Chen tergelak, Irene kalau sudah menyangkut dirinya memang begitu. Katanya efek terlalu sayang jadi bawaanya selalu ingin melindungi dan tak ingin menyakitinya.

Tangan Chen terulur untuk mengelus tangan Irene dan berkata, “Aku akan memberinya cupcake yang enak. Ajari aku, dong!”

Huft! Ya sudah aku ajari hari ini sebagai pelajaran tambahan. Awas saja kalau Minggu nanti tak enak!” rutuknya sambil menuju tempat apron. Chen mengangguk sambil mengikutinya.

“Tapi kalau yang sekarang sudah enak, aku akan langsung memberikannya besok. Malam Minggu hehehe…”

“Chen! Jangan bercanda! Kenapa buru-buru begitu?!” teriak Irene yang disahuti tawa oleh sang empu.

Arc En CielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang