Darurat

2K 68 4
                                    

Live reporting mulai dilaksanakan, di depan yayasan pendidikan Adyiwinata, dengan latar belakang kerumunan, serta keluh kesah mereka.

"Pemirsa, saya melaporkan, dari tempat kejadian. Bahwa, Sekolah Adyiwinata terdapat lima orang korban meninggal dunia. Kejadian tersebut, belum diketahui apa penyebabnya. Yang pasti, ada sindikat saling penganiayaan, karena adanya tusuk-menusuk di bagian dada, wajah, dan kepala." Reporter mulai berbalik badan, menuju para korban yang terbujur kaku dihadapan sanak saudara.

Ia mulai mengarahkan mikropon pada kepala yayasan Adyiwinata "Bisa diceritakan, bagaimana kejadiannya, Bu?"

"Saya, tidak tahu seluk-beluk kejadiannya seperti apa. Tiba-tiba saja, anak-anak mulai berdatangan ke kantor saya, melaporkan, ada mayat di dalam kamar mandi SMA Adyiwinata." Selvie, mulai berceloteh, menceritakan kejadian menyeramkan, selama ia menjadi kepala yayasan di Adyiwinata.

"Apakah, kejadian ini, pernah terjadi, sebelumnya?"

"Kejadiannya, sudah terjadi secara terus-menerus, selama sepuluh tahun terakhir ini"

Jujur, Selvie menjabat sebagai kepala yayasan Adyiwinata, belum pernah terlibat dalam kejadian seperti ini. Apalagi, harus menanggung biaya pemakaman, yang artinya merogoh uang simpanan milik Yayasan pendidikan mereka.

"Selaku kepala yayasan, saya minta maaf yang sebesar-besarnya, karena belum bisa menjaga tanggung jawab, saya." Selvie meminta maaf kepada orang tua, serta sanak saudara para korban, didepan kamera, dan umum. Ia menyesal, karena tak bisa mendidik anak-anak didiknya, dengan baik.

Kamera mulai mengatur arahnya menuju pada reporter "Begitulah fakta yang bisa saya sampaikan. Dari Viva news melaporkan" Kamera mati.

Renata memijat pelipisnya. Lelah. Ananta, selaku kameramen, hanya memberikan semangat pada Renata, dengan memberikan sebuah botol berisi thai tea kesukaannya. "Makasih" Renata meraih, membuka tutup botol, diteguknya hingga habis.

"Capek banget, ya?" Alena muncul, hampir mengagetkan mereka.

"Iyalah. Dikira jadi reporter gampang. Yang lain liburan, kita kerja demi sesendok makan. Yang lain hura-hura, kita sekuat tenaga, cari gosip yang beredar. Wajar, kita capek."

"Betul" Tambah, Ananta.

"Syukuri pekerjaannya." Alena menyeruput Es krimnya seraya duduk bersila menikmati indahnya alam, bersama sahabat. Rasanya seperti mendapatkan liburan dadakan.

"Gue syukuri kok, Len. Nata aja yang kagak" Renata melirik Ananta, lalu menahan tawa. Raut wajah Ananta berubah drastis setelah kalimat tadi yang keluar dari mulut Renata.

"Seharusnya Nata bersyukur. Kameramen lebih enak, dibanding pekerjaan Rena, sama Lena" Ujar, Alena.

Ananta mendengkus. Tidak ada pekerjaan yang menyenangkan, semua butuh jerih payah, keringat bercucuran kemana-mana, barulah mendapatkan kebahagiaan. Seperti peribahasa mengatakan Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Ananta melirik ke arah Renata dan Alena. Lalu merentangkan kedua tangannya. "Sayang banget sama kalian!" Memeluk tubuh mereka.

Sebenarnya Renata, Ananta, dan Alena waktu remaja, mempunyai satu tempat cita-cita. Yaitu menjadi Polisi. Renata dan Alena polisi Wanita, dan Ananta polisi Pria tentunya. Tetapi, takdir berkata lain. Ananta tingginya tidak cukup. Sedangkan, Renata, malah mengikuti tuntutan orang tuanya, menjadi reporter. Alena sendirilah, yang menjadi polisi wanita. Namun, walaupun berbeda pekerjaan, entah mengapa mereka selalu di temukan, dalam satu tempat kejadian perkara.

"Gak sayang nih, sama Gisella?" Alena menaikkan sebelah alisnya, mencoba menggombali sahabatnya, walaupun, bakat gombalnya tidak seberapa.

Ananta mencubit pipi Alena, gemas. "MASIH LAH" Kemudian membuang muka, akibat malu diambang batas.

"Malu nih, malu." Renata mulai ikut-ikutan memanasi.

"Tau, ah." Ananta pergi, meninggalkan mereka, dengan rasa malu yang masih menggebu-gebu. Begitulah dia, sering salah tingkah, jika membicarakan belahan jiwa, yang menemaninya selama tiga tahun ini.

Renata mulai mengalihkan pembicaraan pada, Alena. Menanyakan hubungannya dengan sang kakak, yang menjabat sebagai dokter tampan, yaitu Reno Prasetya. Alena hanya menyengir, lalu menjawab pertanyaan tersebut dengan pernyataan yang sama. Alena dan Reno, pasangan muda, yang menjalin asmara selama sepuluh tahun. Jika ada lomba pasangan terlama, mungkin, mereka berdua akan menjuarai lomba tersebut, dan mendapatkan piala juara pertama.

Sebenarnya, mereka pernah break untuk sementara waktu. Sebab, Alena mengikuti seleksi kepolisian, artinya, tidak memegang telepon genggam untuk beberapa waktu kedepan. Begitu juga dengan Reno, fokus pada jenjang pendidikannya, ialah seorang dokter.

"Alena!" Panggil Franky diujung sana, yang juga menjabat sebagai polisi. "Kita harus ke kantor polisi, ada banyak hal yang harus diomongin soal korban ini." Ujar, Franky.

Alena mengangguk, lalu berdiri menemui Franky.

***

"Begitu, pak, kejadiannya." Franky membuka percakapan antara kepala polisi, dia, dan Alena.

"Nanti dibicarakan besok. Ini sudah terlalu larut, besok pagi datang secepatnya. Kita selidiki kasus tersebut." Ujar, Christofel. Mereka mengangguk secara bersamaan, lalu menaiki kendaraan masing-masing. Franky dan Alena, sedangkan Christofel sendiri, menaiki motor, membelah jalanan ibu kota.

Jalanan ramai. Dipenuhi berbagai macam kendaraan, serta penjual, yang berada di trotoar. Kendaraan satu dan yang lain, saling beradu bunyi klakson. Franky, si pengemudi kendaraan beroda dua, hanya menatap Alena dari kaca spion, sambil tersenyum masam. "Lu tau, ga, Len? Pelaku dari pembunuhan tadi?" Ia mencairkan suasana, dengan bertanya hal yang tak masuk akal. Pasalnya, Alena di sana, hanya kebetulan lewat saja.

Alena mengangkat bahu, acuh, sembari tatapan mata tidak lepas dari penjual Batagor diujung mata.

"Mau batagor, gak?"

Alena menggeleng.

"Terus, kenapa lihat kesana?" Tanya, Franky, untuk kesekian kalinya.

"Punya mata dipake buat melihat. Jadi, wajar dong, Lena lihatnya ke sana terus." Balas, Alena, tidak kalah acuh.

Franky memutar bola mata, kesal. Sudahlah. Percuma, meladeni Alena -gebetan- super judes. Ia hanya menatap pejalan kaki yang lalu-lalang, sambil memikirkan, apakah permainannya akan segera berhasil, atau malah gagal ditengah jalan.

(╯°□°)╯︵ ┻━┻

TO BE CONTINUED.

Yang ingin tahu, pacar Alena; Reno Prasetya, silahkan cek work ku sebelumnya yaitu Bisakah Aku Memilih?

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang