Hari terus berlalu. Begitu pula dengan Gisella, yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya selama dua minggu terakhir ini. Kata orang tuanya, Gisella akan menginap selama lima hari dirumah teman sekampusnya. Tetapi, hingga sekarang, sekadar mengirim kabar saja tidak. Ia menatap dirinya di cermin. "Lu dimana sih, Gis." Ananta bergumam. Belahan jiwanya, membuat ia resah dan serba salah. Samar-samar, tampak seorang wanita berpakaian pencil skirt, menuju Ananta yang kini sementara di dandani. "Nih, naskah yang harus lu hafal. Sepuluh menit lagi kita live."
Ananta mengangguk. Sekarang, gilirannya untuk menjadi pembawa berita. Renata? Ah, dia mendapatkan tugas menjadi reporter di luar daerah. Oleh sebab itu, Ananta lebih frustrasi, tak mempunyai teman curahan hati.
Wanita itu kembali, sembari berdiri dibalik ambang pintu masuk. "Waktu selesai. Sekarang saatnya live." Ananta berdiri, mengikutinya dari belakang.
"Action!"
"Selamat malam pemirsa. Saya Ananta Wijaswara ingin membawakan program berita teraktual malam ini. Di duga, seorang mahasiswi berinisial RZ ditemukan dalam keadaan disandera pada rumah tua tak berpenghuni. Namun sayangnya, sang pelaku belum diketahui. Kini, polisi sedang mencari tahu pelaku berinisial F, beserta kawan-kawannya. Saya, Ananta Wijaswara akan kembali setelah program berikut ini."
"CUT!"
"Hampir sempurna. Lebih giat lagi, ya!" Sang juru kameramen mendekat, memberikan sedikit semangat pada, Ananta. Dialah satu-satunya orang yang bisa menenangkan hati Ananta, ketika Ananta mendapatkan tugas sebagai pembawa berita. "Terima kasih." Ananta balas tersenyum ramah. Ia mengambil mug berisi teh, diteguknya hingga habis. Setelahnya, masuk ke ruangan khusus untuk beristirahat sejenak. Ananta baru ingat. Lokasi. Cepat-cepat ia membuka laptop, dinyalakan, lantas melacak keberadaan Gisella melalui Google Maps. Ia mengerutkan dahi, tak mengerti. "Nusa Tenggara Barat?"
***
Acap kali ia menggigit kuku jemari, risau. Menunggu adalah sesuatu yang tak mengenakkan. Apalagi menunggu kepastian seseorang. Ia mondar-mandir, tidak tentu. Memikirkan hal yang akan terjadi di masa depan. Pintu terbuka, menampilkan sesosok figur paling ditakuti murid. Yakni, guru bimbingan konseling. Kemahirannya dalam membobol akun media sosial seseorang, memberikan sang guru ini upah sampingan. "Sudah beres," ucapnya.
Cecilia hampir lunglai. Ia bersyukur, email tersebut telah dinonaktifkan.
"Untungnya, kamu segera kesini. Kalau tidak, bisa saja perjalanan hidup kita dibalik jeruji besi. Ah, memang benar, waktu adalah emas," ujarnya, diikuti kepulan asap rokok yang baru saja keluar dari mulutnya.
"Oh iya, baru ingat. Masa kontrak kita akan segera habis. Kamu harus urusi itu," perintah guru bimbingan konseling tersebut.
Cecilia mengangguk setuju dengan perasaan gugup, lalu cepat-cepat menuju pintu, untuk keluar dari sana. Sebab asap rokok mengganggu pernapasannya, maka dari itu, ia terpaksa harus merogoh kantong rok, mencari keberadaan Inhaler. "Oh, c'mon!" desahnya. Berpindah tempat ke kantong seragam, namun juga tak kunjung dapat. Berpindah tempat lagi dalam tas selempang yang ia bawa. Nihil. Tak ada juga. Semakin lama, sesak napasnya semakin berdatangan. Cecilia tidak mampu lagi untuk menahannya. Beberapa kali ia mengeluarkan suara bengek, tetapi beberapa orang juga hanya menatapnya hina.
"Cecil!" Franky memekik. Ia berlari kecil dari ujung anak tangga bawah ke ujung anak tangga atas, mengunjungi Cecilia yang telah kesakitan.
"Lu kenapa!?" Matanya melotot, menunggu jawaban. Dimenit ke dua, Franky baru menyadari. "Asma!" ucapnya, sembari memukul dahi, tanda ia lupa. "Dasar bego!" Sesegera mungkin mencari Inhaler dalam kantong celana, siapa tahu ia menyimpan Inhaler cadangan untuk Cecilia. Aish, Tuhan sepertinya tidak berpihak kepada mereka saat ini. Inhaler tersebut juga tak ada pada dirinya. Bingung harus berbuat apa. Dahulu, Franky pernah menjadi anggota PMR, dan yang paling ia ingat adalah pertolongan pertama mengenai gejala asma.
Franky mengarahkan Cecilia untuk duduk tegak pada anak tangga, serta ikut arahannya dengan cara mengambil napas pelan-pelan. Sembari Cecilia mengambil napas perlahan, Franky menasehati agar dia jangan panik. Karena panik justru memperparah serangan asma.
Alena datang tergopoh-gopoh, sambil membawa Inhaler dalam genggaman tangan kirinya. Sebelum itu, Franky telah menelponnya agar membantu Cecilia. "Alena udah hubungin Ambulans," ucap Alena seraya memberikan Inhaler ke tangan Franky.
"Makasih. Bantu longgarin pakaiannya dong," pinta Franky.
Alena melongo. "Didepan umum?" tanyanya, tidak percaya. "Kenapa gak dibawain ke UKS, biar longgarinnya nanti disana."
"Gausah banyak omong, ikutin aja perintah gue. Lu mau anak orang mati ditangan kita berdua!?" Bentak, Franky.
Alena terkejut bukan main. Pertama kalinya, ia dibentak seperti ini oleh Franky. Alena segera melonggarkan pakaian Cecilia agar tidak sesak.
Mula-mula Franky melepaskan tutupnya, dikocok, berlanjut disambungkan Inhaler ke spacer, bersamaan memasangkan mouthpiece pada spacer. Selepas itu, ia tempelkan mouthpiece pada mulut Cecilia. Franky mengupayakan agar mulut Cecilia menutupi seluruh ujung mouthpiece.
Ketika Cecilia mengambil napas perlahan-lahan, Franky menekan Inhaler satu kali. Ia meminta Cecilia tetap mengambil napas pelan-pelan dan sedalam mungkin, kemudian tahan napas selama sepuluh detik.
Sekali lagi, Franky menyemprotkan Inhaler sebanyak empat kali, dengan jarak waktu sekitar satu menit tiap kali semprotan. Setelah empat semprotan, ia menunggu hingga empat menit. Melihat perkembangan apakah Cecilia masih sulit bernapas.
Tiba-tiba, ponsel Alena berbunyi. Dilihatnya, sudah ia duga. Ambulans telah menunggu didepan yayasan Adyiwinata. Sesegera mungkin, Alena memanggil murid laki-laki untuk membantu Franky membopong Cecilia masuk dalam mobil Ambulan. Sementara melihat aksi mereka, sekilas Alena mendapati sesosok misterius itu lagi, yang tak sengaja ia senggol sirup coco pandan, sewaktu yayasan Adyiwinata dikabarkan ada korban meninggal dunia. Siapakah dia sebenarnya?
***
"Soal yang tadi, gue mau minta maaf. Gue bener-bener panik." Franky dan Alena saat ini telah berada di balkon depan kamar yang Cecilia tempati. Berbagai cekcok mereka lalui, sampai akhirnya datang ke rumah sakit Malalayang. Alena tertawa hambar. "Gapapa, santai aja kali. Alena juga tadi panik, jadi gak sampai dimasukkin ke dalam hati."
Lirikan mata Franky seolah membawanya menuju dunia fantasi kedua setelah Reno. Alena menundukkan kepala, tidak mau memandangi Franky lebih lama dan memilih fokus kepada sepatu buluknya. Hembusan angin menerpa dahinya, begitu keras. Ia mendongak, mendapati Franky tengah meniup wajahnya. "Wajah lu ditutupin sama poni. Makanya gue bantu tiup biar pancaran sinar kecantikan lu muncul," goda, Franky. Hampir. Hampir saja pipi Alena merah merona. Alena menutupinya dengan cara memukuli lengan Franky sekuat tenaga. "Basi, Ky," keluh, Alena.
"Hahaha, tapi perasaan ini dari dulu emang gak pernah basi," kekeh, Franky.
Ya, Alena memang sudah tahu. Tapi, mau bagaimana pun caranya, ia hanya bisa memilih Reno. Soal Reno, ia baru teringat. Ada hal yang harus Alena bicarakan pada Reno melalui gawai. "Tunggu sebentar. Lena mau ke toilet dulu," pamitnya. Semaksimal mungkin, ia berlari mencari keberadaan toilet.
Akhirnya, bertemu.
Alena mengatur napas terlebih dulu, sebelum ia masuk.
"Eh?"
Alena terpaku. "Kok, kamu disini?"
(TT)
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]
Mystery / ThrillerDILARANG KERAS UNTUK MEMPLAGIASI CERITA INI, BAIK MENGGANTI NAMA, DAN SEBAGAINYA. KETAHUAN PLAGIAT!? AKAN DITINDAK LANJUTI! °°° [Seri pertama, dalam Horror/Mystery story] Seluruh penduduk SMA Adyiwinata sama sekali tak menyangka, ada kasus pembunuh...