Kewalahan

542 48 1
                                    

Sembari menguap, murid yang sudah datang itu, membaringkan kepalanya di atas meja tempatnya beberapa hari ini sudah melaksanakan pekerjaan. Dia, Alena. Sebab pekerjaan ini, seharian penuh, harus berkutat mencari informasi. Alena sempat berpikir, mengapa Viva News tidak ikut serta bergabung mencari informasi, padahal, sudah tanda tangan kontrak kerjasama. Disana juga tertera, Viva News harus mencari informasi kasus pembunuhan juga.

Tatapannya mengarah pada bangku si cowok senyuman hampa. Ia berdiri, mendekati bangku tersebut. Sepertinya bangku dan meja ini, mirip sekolah pada umumnya, terdapat beberapa coretan tangan. Pandangannya terhenti ke arah tulisan yang di tulis menggunakan tinta merah.

Sebab buah dikenal pohonnya

Maksudnya, apa? Alena tidak mengerti. "Bahaya! Cewek itu ngedeketin bangku, Dayat!" Seorang gadis berkepang berlarian keluar kelas, melaporkan perihal Alena, yang sedang ingin cari tahu. Dan terakhir, Alena baru mengetahui namanya. Dayat. Saat kemarin, mengacak-acak daftar siswa/i, Alena tidak terlalu memperhatikan jelas nama cowok itu. Gadis itu masuk kembali, membawa segerombolan murid, yang Alena yakin, murid satu kelasnya semua.

Gadis itu mulai mendorong. "Jadi orang, jangan kepo!" Alena ingin membalas, meraih kerah kemejanya, namun, terlambat, Alena terjungkal.

"Emang ini meja moyang lu, bocah!" Balas, Alena tidak kalah brutal. Anak-anak ini tidak dididik oleh orang tuanya, tentang bahaya moral, sepertinya.

"Bocah? Songong amat, lu! Orang punya privasi, dan Dayat juga mempunyai privasi itu, termasuk bangku dan meja ini."

"Sangkut-pautnya lu sama Dayat, apa?! Gak ada sangkut-pautnya, kan? Jadi, terserah gue dong. Sewot amat jadi orang."

"Serbu, man. Diskon!" Teriakan seorang gadis lainnya, mengajak kerumunan yang dipanggil oleh gadis berkepang, untuk langsung mengerumuni, Alena. Alena mulai di tarik. Dasi yang dipakainya terlepas dari tempat, begitu juga dengan kancing kemeja sekolah bagian atas, serta ikat rambutnya. Beberapa orang, mulai menarik helaian demi helaian rambut Alena, menuju pojok kelas sebelas Bahasa satu. "Mentang-mentang, murid paling di sayang guru, seenaknya ngomong." Ia mengangkat kerah kemeja Alena menggunakan tangan kiri. Lalu melayangkan telapak tangan kanan menuju pipi, Alena. "Kita ga suka, ada murid baru dikelas Bahasa ini. Apalagi pengusik macam lu, yang diberitakan jadi mata-mata!" Hampir saja. Pukulan keras dari seorang lelaki, hampir mengenai dadanya.

"Semuanya, keluarin benda tajam kalian!"

Pikiran Alena, sudah tak tentu, apalagi mengenai benda tajam. Benar-benar gila. Murid kelas sebelas Bahasa satu, benar-benar gila. Merekalah sang psikopat sesungguhnya. Franky juga kemana, disaat seperti ini, dia malah menghilang. Dan juga, biasanya jika terjadi kerusuhan, kelas lainnya akan berkumpul, tapi ini, kosong-melompong.

"Perhatian. Seluruh murid SMA Adyiwinata, dipersilahkan untuk segera menuju, Aula. Sekali lagi, seluruh murid SMA Adyiwinata, dipersilahkan untuk segera menuju, Aula. Terima kasih."

"Hari ini lu beruntung, bocah!" Mereka memasukkan kembali benda tajam yang dibawa, seraya menatap sinis Alena. Perasaan kesal yang mereka dapati tadi, dilampiaskan dengan cara menendang dan memukul benda-benda didalam kelas. Alena tidak peduli. Ia merapikan kembali kemeja serta rambutnya, kemudian berjalan keluar kelas. "Halo, zheyeng. Kusut amat tu muka," ucap, Franky. "Pasti nungguin, gue, iyakan?" Lanjutnya, seraya mengapit tangannya dan tangan Alena.

Alena tidak sadar dan malah acuh. Dendam pada anak-anak ingusan, belum terselubung.

"Maaf, ya. Tadi itu aku lagi keliling sekolah, pengen nyari info lebih. Eh malah ketemu sama ruangan aneh. Banyak darah dan pas di telusuri, ternyata ada orang!"

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang