Hari ini, adalah hari Kamis. Hari dimana aku mengontrol perihal masalah yang dokter maupun psikolog saja tak bisa selesaikan. Ya, siapa sangkah jika aku akan mengunjungi orang pintar ahli ilmu hitam ini? Pasti tidak ada yang menyangkanya bukan? Apalagi, aku rela ke sini hanya untuk melindungi calon kekasihku nanti. Hahaha, iya, calon. Tapi, tenang saja, cepat atau lambat calonku pasti akan menjadi selamanya di hidupku.
"Bagaimana, Nak? Kamu setuju?"
"Ya, Mbah, saya setuju."
Demi keselamatanmu, aku bersedia melakukan apapun, sekalipun itu bisa merenggut nyawaku. Tiap hari membawa sesajen ke rumah si mbah dukun, agar kamu terlindungi dari gadis cantik haus darah --tepatnya ingin balas dendam-- dengan cara merasuki jiwamu. Tiap hari harus meminum obat penambah darah, supaya mudah memberi darahku pada iblis. Itu aku lakukan padamu Alena, supaya engkau tidak meninggalkanku.
***
"Kita masih punya kesempatan, kak. Malam ini, kita pesan tiket pesawat secara online." Renata membantu sang kakak berjalan menuju mobil. Dia tahu Reno merasa terpuruk atas kehilangan Alena, tapi semoga saja dengan perkataannya barusan, bisa membantu gejala itu. Ananta yang melihat pemandangan tersebut, lantas membantu Renata membawakan Reno ke dalam mobil.
Memang kasihan bila dilihat-lihat satu per satu wajah mereka. Raut kesedihan, raut bingung, dan raut wajah lelah tercampur aduk di sana. Namun, mereka masih saja tetap tersenyum, berharap akan datangnya keajaiban dunia di depan mata.
Deru knalpot mobil menggema di telinga masing-masing penumpang serta pengemudinya. Asap hitam yang keluar menambah kesan jika ... Kali ini, Ananta yang mengemudikan mobil Reno, menelusuri jalanan ibukota ke rumah kedua kakak-beradik dalam mobil. Momen yang pas menunggu Reno dan Renata mengemas barang bawaan, ia mencuri waktu dengan bermain bersama Rara serta ibu Rara --juga ibu Renata dan Reno-- di ruang keluarga. Tak lupa memesan tiket melalui aplikasi untuk mereka bertiga --Ananta, Renata, Reno-- secara online.
Setelah Renata, Reno, selesai mengemasi barang bawaan, ketiganya menyalami punggung tangan ibu yang hanya terduduk kaku di kursi roda. Sebenarnya, Reno merasa berat untuk meninggalkan ibunya dengan Rara yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Bukan karena Rara masih sekolah dasar. Namun, Rara ini kelas ujian. Pasti waktu mengurus bisa saja terpotong karena Rara lebih memilih belajar. Renata jua menitip gawainya pada sang adik, menyuruh simpan, dan jika terjadi apa-apa, langsung telepon. Begitu pesan Renata.
Acara salam-salaman dan nangis-nangisan sudah selesai. Mereka melambai-lambaikan tangan, lantas, Ananta menginjak pedal gas, menjalankan mobil di tengah macetnya jalanan ibukota.
"Gue gak nyangka, kalian berdua bakalan senekat ini ninggalin ibuk yang lemah di kursi roda. Ditambah lagi, Rara yang udah kelas enam SD." Itu Ananta. Ia membuka suara dikeheningan malam dalam mobil.
Reno mengangkat bahu acuh, kemudian melirik Ananta di sebelahnya. "Yah, aku juga gak nyangka kenapa bisa senekat ini, sama orang yang belum disah-in jadi pendamping hidup."
"Kayaknya, diri ini udah dibutakan oleh cinta," lanjut, Reno.
Kalimat itu. Kalimat yang diucapkan Reno barusan, menusuk hingga hatinya. Tak tahu, apa yang hendak Ananta katakan sekarang, yang pasti ia bingung tak keruan. Suasana dalam mobil juga kembali sepi. Hanya suara radio yang menemani. Itupun suaranya sangat pelan, bahkan, jika diibaratkan, suara cecak berdecak saja dapat terdengar dan mengalahkan suara radio tersebut.
Renata yang mengerti suasana sudah tidak lagi kondusif, akhirnya bersuara. "Tanpa kita sadari, cinta dan tolong itu merupakan suatu fitrah dalam diri mahluk hidup. Entah itu tumbuhan, hewan, dan manusia sekalipun memilikinya. Jadi, mau kalian jauhi atau gak, keduanya bakalan ada di diri kalian," ujar, Renata, menceramahi kedua lelaki yang sedang berjuang demi kekasih mereka masing-masing.
"Jadi, yang harus dilakuin?" tanya, Ananta, yang sesekali rem mendadak akibat seekor tikus sialan yang cuma numpang seberang.
"Tetep nerima fitrah tersebut."
Benar juga kata Renata. Dari awal, mereka sudah menyela dengan jalan yang Tuhan berikan, padahal, walaupun kita tak menerimanya, hal itu akan terus menempel dalam diri kita. Terutama, yang dimaksud oleh Renata. Cinta dan tolong-menolong. Mau bagaimana pun, kita wajib menjalaninya, sambil bersyukur.
Terlalu lama mengobrol hingga bersenda gurau, akhirnya, mobil sampai dengan selamat di bandara. Mereka bergegas turun, mengambil barang bawaan di bagasi. Sekadar informasi, barang bawaan milik Ananta memang sudah di bawanya sedari tadi, maka dari itu, Ananta tak pulang ke rumah, dan lebih memilih ke rumah orang tua Reno, dan Renata. "Check-in jam berapa, Nat?" tanya, Reno, disela-sela ia menurunkan barang.
"Lima belas menit lagi," jawab, Ananta.
"Jam sembilan empat lima?" tanya, Renata, ragu-ragu.
Samar-samar, Ananta mengangguk.
Kalau boleh jujur, perjalanan ini sangat melelahkan. Seharian penuh di jalanan, layaknya orang gembel yang tak mempunyai rumah. Pernah sekali, mereka hampir pasrah dengan keadaan, memilih membiarkan Alena dan Gisella mati mengenaskan di tangan pelaku penculikkan. Tetapi, itu hanya sesaat. Pikiran iblis yang datang sesaat. Setelahnya, mereka kembali bersemangat memasukkan pelaku itu cepat-cepat ke penjara. Jikalau perlu, hukum mati saja ia. Orang-orang semacam itu, hanya menjadi sampah masyarakat bagi sekitarnya.
Tiba-tiba, bahu Ananta disenggol dengan keras. Rasanya sakit sekali. Ananta hanya diam, menengok orang yang menyenggolnya.
Pria.
Dia seorang pria.
Sepertinya, Ananta mengenal perawakan pria berperut buncit, koper merek Gucci, serta kepala bagian atasnya botak alias tidak mempunyai rambut. Ia melihat sewaktu di rumah keluarga Ahmad. Di salah satu album anak gadis pak Ahmad, ketika wisuda sekolah menengah atas. Berdiri di antara para anak-anak didiknya, dengan senyuman yang Ananta tak bisa dekripsikan. Iya, dia adalah kepala sekolah menengah atas Adyiwinata.
"Kenapa, Nat?" tanya, Renata, khawatir.
Ananta menggeleng. "Gapapa," ujarnya. Sudahlah, mungkin ia salah menerka. Toh, semua orang di dunia ini pasti ada yang sama dengan pria tadi. Berperut buncit.
( ͝° ͜ʖ͡°)ᕤ
TO BE CONTINUED
Inget ya gengs, di setiap ceritaku itu make alur maju-mundur cantik. Jadi, pintar-pintarlah untuk mengetahui mana alur maju dan mana alur mundur.
Note: Masa alur maju dan mundur gebetan aja tahu, giliran alur cerita ini gak! Kelen jaat ama aq ༎ຶ‿༎ຶ
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]
Mystery / ThrillerDILARANG KERAS UNTUK MEMPLAGIASI CERITA INI, BAIK MENGGANTI NAMA, DAN SEBAGAINYA. KETAHUAN PLAGIAT!? AKAN DITINDAK LANJUTI! °°° [Seri pertama, dalam Horror/Mystery story] Seluruh penduduk SMA Adyiwinata sama sekali tak menyangka, ada kasus pembunuh...