Di mana?

390 37 3
                                    

Akhir minggu ke empat pada bulan September. Alena, Reno, Renata, dan Ananta duduk bersila melingkari rerumputan, membicarakan hal yang sangat serius. Tentang nyawa seseorang. Siapa lagi kalau bukan Gisella, belahan jiwa tercinta milik Ananta. Alena tahu, karena kejadian kemarin. Dimana, Cecilia mendapatkan masalah serius pada organ pernapasannya. Kemudian, disitulah timbul titik terang orang yang selama ini Ananta cari lewat perantara Alena.

"Lena gatau pasti Gisella sekarang lagi diapain dan dimana, terakhir kali Lena liat lewat video call dari nomor whatsapp orang yang gak Lena kenal," ucap Alena. "Waktu ngomong juga, dia cuma nangis minta tolong," lanjutnya.

"Gimana kalau kita panggil Vano?" tanya, Alena. Ia memberikan saran nama seseorang yang bisa melacak keberadaan Gisella melalui nomor telepon. Siapa tahu, diantara mereka ada yang menyetujui rencana Alena, yang ia susun jauh hari sejak pertemuannya dengan Vano di rumah sakit. Ananta mengangguk setuju, tanpa peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Vano berbahaya, atau justru baik. Reno serta Renata juga sudah terbawa suasana, akibatnya tak jadi menanyakan, siapakah Vano sebenarnya?

"Ok. Lena hubungi Vano sekarang." Alena langsung merogoh kantong rok, mengambil Gawai. Setelahnya, mencari nomor Vano, mengirimkan pesan singkat padanya.

To: +62811223344 (Levandro Danendra)

Vano, ini Alenayya, dan Lena setuju.

Sejujurnya, Alena benci kalimat yang ia kirimkan pada Vano. Sungguh, pengorbanan dihadapan umum adalah hal paling menjijikkan.

From: +62811223344 (Levandro Danendra)

Share a location

Degup kencang jantungnya melewati batas normal. Alena menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya. Begitu terus, agar suasana hati tenteram. Dirasa sudah cukup, Alena langsung membuka suara. "Nusa Tenggara Barat. Kita harus ke Nusa Tenggara Barat!" Gugup. Bulir keringat mengucur deras di pelipisnya. Reno mengernyitkan dahi, berasumsi bahwa ada yang tidak beres dengan Alena. Reno menyela, "Gak boleh." Ia mendekat ke arah Alena, mengamatinya lebih teliti. "Kamu ini kenapa?" tanya, Reno, sembari menyeka bulir keringat di pelipis Alena.

Renata langsung menipis. "Kakak ini yang kenapa! Alena baik-baik aja kok, kak!"

"Dia sedang tidak baik-baik saja!" bantah, Reno.

"Oh, teman-teman Lena baik-baik aja. No, Lena baik-baik aja, kok. Gak usah khawatirin Lena begitu. Lena cuma takut keadaan Gisella sekarang," tukas, Alena.

"Besok pagi, kita lanjutin pembahasan. Ini udah mendung, bentar lagi hujan mau turun. Gue juga lagi ada urusan penting." Ananta berdiri, segera mundur dari obrolan tentang Gisella. Sebetulnya, Ananta berat meninggalkan obrolan itu. Sangat berat. Akan tetapi, urusan yang ia miliki lebih penting. Lebih dari apapun. Tentang korban beberapa hari lalu, saat Ananta membawakan beritanya disalah satu stasiun televisi swasta tempat ia bekerja.

Mereka segera berdiri, kemudian mengambil barang-barang yang dibawa. Kini, perasaan Alena sedikit membaik. Tak tahu bertahan hingga kapan, tetapi ia harus mensyukurinya.

"Besok ketemu lagi di sini dan gak ada yang jam karet, ya," pinta, Renata. Ia menyuruh kedua sahabatnya serta kakaknya untuk mengikuti perintahnya yang dikatakan tanpa terkecuali. "Diusahakan." Ananta berucap, sembari bersiap-siap menancapkan gas pergi dari sini. "Oke. Hati-hati, Nata." Renata melambaikan tangan ke arah Ananta, yang sudah melesat jauh. Tanpa mereka ketahui, Reno sudah berdiri didepan pintu kemudi mobil.

"Ayo!" panggil, Reno.

Renata berlari kecil ke arah mobil Reno, meninggalkan Alena yang masih dibelakangnya, dengan tatapan mengintimidasi.

"Alena, ayo!" panggil, Reno, lagi.

Alena menengok Reno, kemudian melirik sekitar. Setelahnya, ia langsung berlari menuju mobil Reno, segera masuk. Mobil telah berjalan, dengan kecepatan pada umumnya. Diperjalanan, Alena bergidik ngeri memikirkan kejadian di taman. "Percaya gak, kalau Alena bilang ada yang ngintaiin kita?" tanya, Alena, membuka keheningan yang tercipta sejak tiga puluh menit lalu. Renata mendekati bangku depan, menyadarkan dagu dibahu bangku penumpang tersebut, tempat Alena duduki. "Kita?" Renata balik bertanya.

Alena mengangguk. "Iya, kita. Kayaknya, kita diikutin."

"Diikutin siapa?" tanya, Renata. Posisi Renata kini sudah berubah. Yang tadinya menyadarkan dagu, sekarang sudah menyamdarkan kedua lengan ditempat sama. Keseriusannya juga sudah bertambah dua kali lipat.

"Gak ada yang ngikutin kita. Jangan ngehalu deh, Len," jawab, Reno.

Renata berpaling pada Alena, kemudian menatap Reno. "Apa sih, kak! Bisa gak, gak usah ngejawab mulu, dan gak usah jadi orang sok tahu?" Reno tidak membalas. Ia fokus menyetir, walaupun sebenarnya ia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Renata. Alena pun begitu, hanya saja, ia tidak mempedulikan ucapan Reno barusan dan lebih memilih menjawab pertanyaan Renata. "Entahlah, tapi kamu percaya gak, Ren?"

"Per-"

"Gak!" ujar, Reno, cepat.

"Aku. Gak. Percaya." Reno menekan intonasinya. "Udahlah gak usah kebanyakan berimajinasi, sana turun, masuk ke rumahmu," lanjutnya. Alena turun dari mobil Reno, bersama perasaan yang tidak terdeskripsikan. "Jangan lupa minum obat, aku tahu, kamu itu lagi sakit." Tuhan, bisakah Alena menendang bokong pacarnya agar menjauh dari hadapannya? Bisa-bisanya ia mempermainkan hati kecilnya ini.

┐('~';)┌

To Be Continued

Jadwal update gak ditentukan ya, tapi aku usahakan update sampe tamat kok, sans aja~

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang