Ia, siapa?

306 30 0
                                    

Gelap beberapa saat, sebelum Alenayya membuka kedua mata dengan napas yang terengah-engah. Ia duduk di pinggir ranjang, ditemani jantung yang berdetak cepat. Perlahan, Alena menurunkan kakinya ke lantai dan berniat untuk berjalan ke depan membuka tirai jendela. Niatnya ia urungkan, sebab seluruh badan serta tulang-tulangnya terasa retak. Tak pantang menyerah, kira-kira baru empat langkah, Alena langsung saja terjatuh. Ia meringis, menahan segala kesakitan. Selanjutnya, menangis. Mengingat, jika sekarang ia ada di salah satu rumah orang jahat itu. Terisak-isak, sembari terbujur kaku di lantai kotor penuh debu. Huh, sebegitu lemah dirinya, tidak melawan ketika masih di sana. Gawainya pun ikut menghilang bersama baju yang dikenakannya.

Tunggu dulu. Di mana baju yang ia kenakan sebelum datang ke mari?

Dengan terseok-seok, Alena bangkit lagi. Sekarang, tujuannya adalah ke luar. Mencari gawai, dan penutup tubuhnya sejak awal tadi.

Sunyi.

Senyap.

Deru napasnya pun seolah-olah terdengar oleh telinga sendiri. Apakah rumah ini sepi? Jika benar, maka, kesempatan emas baginya melarikan diri dari daerah asing ini. Alena kini melanjutkan perjalanan. Samar-samar, ia mendengar suara dentingan. Karena kepo, alhasil ia mencari asal-muasal dentingan tersebut. Siapa sangkah, ia bertemu orang baik hati.

"Tenang aja, tenang. Kita bakal dapetin tubuhnya dalam waktu dekat ini"

"..."

"Gak ada masalah tentang itu, kita kan sudah tanda tangan kontrak. Intinya tenang, kita gak boleh main kasar.

"..."

Suara itu, terdengar familier dan sangatlah jelas. Alena kembali menguping, barang kali menemukan titik terang, soal mengapa ia bisa berada di sini.

"Apa susahnya sih tenang? Kalo lu diancam, tinggal ancam balik aja. Kita ini sudah berpengalaman soal bunuh-membunuh, gausah takut."

"..."

"Iya, korbannya ada di sini, kok. Ada tiga, malah."

"..."

"Iya, ke tambahan Alena."

"..."

"Iya sayang iya, orang yang sok pahlawan itu."

Alena mengepalkan tangan. Ia menggeram, tak menerima penuturan kalimat 'sok pahlawan'. Dia bukan sok, ia hanya ingin membantu. Alena hendak bersiap diri mendatangi si penutur, lalu menampar bolak-balik wajahnya dan mengatai habis-habisan. Tetapi, ia batalkan. Mendengar adalah salah satu jalan terbaik daripada bersuara.

"Hah? Oke-oke. Gue bakalan jagain mereka. Tetep aktif terus, gue butuh kabar selanjutnya dari lu."

Dua menit menunggu, ternyata uraian singkat namun bermakna, telah berakhir. Seketika, bunyi tapak kaki kian mendekat, lantas Alena bersembunyi di balik tirai pintu kamar semula. "Yuhuuu ... para penyemangat-penyemangatku. Where are you, babe? I really miss your scream." Suara tapak kakinya semakin dekat. Alena takut. Kalut. Kalau saja ia mempunyai ilmu sihir seperti ilmu tak kasat mata, mungkin saja sudah dilakukannya. Alena serta-merta menggeleng cepat, membuang imajinasi tentang sihir, beralih memikirkan masa sekarang. Intinya, bagaimana caranya agar Alena bisa keluar dengan cepat dari tempat amis ini.

"Halo, Gisella ... Randini." Gisel dan Ran seakan-akan sudah muak dengan ulah pria-pria kurang belaian yang ditemui. Contohnya, sekarang, dicolek sedikit dagu mereka pula, tidak ada yang bereaksi. "Kata si brengsek, kalian berdua itu cantik. Eh ternyata, masih cantikkan Alena. Hm ... omong-omong soal Alena, dia ada di sini, lho," ungkapnya.

"Aku panggilin, ya. Lumayan nambah-nambah temen," ujarnya. Baru selangkah ingin meninggalkan mereka, malah dibanjiri kata-kata mutiara dari mulut mereka.

"Jadi orang tuh, bisa bersyukur gak sih? Lo merasa gak puas sama tubuh kita? Dan ... maksud lo apaan bawa-bawa kak Alena? Lo pengen dia juga ikut mati sama kita?" Gisella meninggikan volume suaranya. Kali ini, amarahnya membludak. Ia sudah naik pitam.

"Pertama, gak. Kedua, iya. Dan ketiga, iya," tutur pria itu, diikuti tawa terbahak-bahak, layak orang yang tak mempunyai masalah.

Randini yang menjadi penonton, refleks menutup telinga. "Lu bener-bener gila."

Pria itu tertawa riang, membuat tubuhnya seolah berputar-putar ala penari balet, namun bedanya, dia memegang cutter. "Ya, terus kenapa kalau gue ini gila?" Ia mendekatkan wajahnya lima sentimeter sangat dekat. Bahkan, kedua hidung antara Randini dan si pria bejat sahaja hampir bersentuhan. "Dahlah, kalian tuh gak menarik sama sekali buat gue. Okay, see ya, i wanna play victim right now with my Ayya," ucapnya,  seraya berlenggak-lenggok menemui yang dituju.

Oh, tidak. Pasti, si pria itu akan menuju ke mari lagi. Alena sudah tak tahu harus bagaimana. Dia kehilangan ide. Dadanya, sesak. Alena menelan salivanya sebisa mungkin, seraya berangsur-angsur mundur. Entah mengapa, tiba-tiba saja Alena terjungkal ke belakang. Padahal, sebelum si pria laknat datang mencarinya, daun pintu sama sekali tidak terbuka. "Aw," ringisnya. Sakit. Pinggulnya, sakit sekali. Jauh lebih sakit ketika jatuh dari kursi. Ia berdiri. Persetan dengan rasa sakit, ia harus lari dari sini. Alena melihat sekeliling didapatinya jendela tadi sebagai jalan pintas.

Tirai, dan daun jendela sudah dibuka. Saatnya mencari gaya yang pas untuk meloncat. Ditengoknya ke bawah, Alena melongo lebar. Banyak sekali ular merayap serta mendesis saking gembiranya, melihat makanan untuk disantap mereka.

Bung, yang benar saja! Kenapa harus ular, yang menjadi tameng rumah? Dipasung saja, sudah cukup bagi korban agar tidak melarikan diri. Apa jangan-jangan, ini adalah pulau terkutuk? Pulau yang hanya dihuni oleh beribu-ribu ular? Dengan sangat terpaksa, Alena mundur, berbalik arah menemukan pintu utama. Tetapi, sebelum itu, ia wajib menggeledah tempat persembunyian dahulu.

Belum mendapatkan tempat untuk bersembunyi, pintu telah berderit. Tidak tahu pasti pintu mana, tapi, panik Alena makin jadi. Kira-kira, sekitar dua menit, akhirnya Alena mendapatkan tempat persembunyian yang cocok. Lemari. Iya, lemari. Perlahan-lahan ia buka supaya tak bersuara.

"Mau kemana?" Alena menutup mata, sedikit meringis, kemudian menengok ke belakang. Astaga, astaga, astaga, dia cantik sekali. Namun mengapa bisa ada di sini? Korbankah? Pelakukah? Pertanyaan itu muncul dan berputar-putar di atas kepalanya. "Di sini rupanya." Seketika, wujud gadis cantik tadi, kembali pada wujud pria rupawan.

Alena menggeleng, lalu mengusap-usap matanya. Diulang secara terus-menerus sampai ia yakin apa yang dilihatnya. "Vano?" Alena memiringkan kepala, melihat dari ujung kaki, hingga ujung kepala si pria bernama Vano.

Yang bernama Vano hanya menaikkan alis, sembari mendekat pada Alena. "Itu, siapa?" tanya, Alena.

"Tadi kelihatan ya?"

Alena mengangguk.

Vano berjongkok, setelah itu menatap serta memegang lembut bibir Alena. "Pemeran utama sebenarnya."

"Maksudnya?"

ƪ(˘⌣˘)ʃ

TO BE CONTINUED

Wah wah, cerita ini makin seru, atau makin makin seru? Wkwkwk

Yuk main tebak-tebakkan! Menurut kalian, siapa sih pemeran utama yang dimaksud Vano? Aku, kamu, atau malah si gebetan yang gak pernah peka-peka? #CIAA

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang