Teror

469 42 5
                                    

Surat, bunga, dan coklat. Seumur-umur berpacaran dengan, Ananta. Gisella tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus seperti ini. Dan, satu lagi. Tulisan Ananta, tak seperti ini. Tidak rapi, dan tidak juga saling bertabrakan antar hurufnya. Tapi, ini kebalikannya. Aneh sekali. Gisella meraih, lalu menyimpan paket tersebut ke kamar. Ia mengirimkan e-mail pada Ananta. Menanyakan hubungan antara paket itu dan dirinya.

Empat puluh enam menit, berlalu. Ananta juga belum membalasnya. Andai, Ananta mempunyai sosial media, agar Gisella lebih enak jika mengirim pesan, tak perlu repot-repot mengirimkannya lewat e-mail. Gisella menyandarkan punggungnya ke dinding, sambil mengetik skripsinya di laptop. Bunyi telepon menggema, Gisella melirik. Dari, Nata, ternyata.

"Iya, Nat?"

"Udah di bilangin jangan terima barang apapun! Batu banget, sih." Gisella menjauhkan telepon dari daun telinganya, kemudian menempelkan kembali.

"Kok marahin, sini!? Tuh, barang udah pernah di buang, tapi masih balik lagi." Ia mencoba menahan amarah terhadap belahan jiwanya yang super overprotektif. Lagipula, paket-paket tersebut belum pernah ia buka sepeser pun.

"Dibakar!"

"Jauhin atau kita putus!?"

Puncak kemarahan Gisella, memecah. "Apaan, sih, Nat!" Pasalnya, ancaman Ananta lebih mirip remaja yang baru mengenal cinta. Oh, ayolah. Gisella juga tidak akan berpaling, hanya karena isi paket terlihat mewah ataupun barang-barang kesukaannya. Ia tak se-matre itu.

"Gausah banyak alasan. Gua kesana dapetin tu barang masih ada, liat aja lu."

Baru saja Gisella ingin angkat bicara, sambungan telah diputuskan oleh sepihak. Gisella menenangkan diri sejenak, dengan mengetik kembali skripsinya. Ia yakin, Ananta tidak akan kesini, demi paket itu. Ananta pasti lebih memilih pekerjaan. Gisella tahu.

***

Ia tersenyum sumringah. Yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dia, Ananta. Alena memeluk bahagia. Rasa yang menggerogoti tubuh, langsung hilang seperti diberi ramuan penyemangat oleh penyihir. Lima menit tidak kunjung melepas pelukan. Ananta merasa tak enak hati, terutama pada cowok yang sedang menonton itu, Franky Tapiheru. Ananta mencoba melepas, tapi tidak bisa. Alena malah memeluknya semakin erat. Seketika, tetesan air mata turun membasahi baju. "Lu kenapa, Len?" Tanya, Ananta, masih memeluknya. "Aku gak mau disini," bisik, Alena, sangat pelan, di telinga Ananta. Ananta mencoba melepaskan sekali lagi, dan terbuka.

"Ini pekerjaan, Len. Apa lu mau, dicap sebagai orang yang gak punya tanggung jawab?"

Alena menutup wajahnya, dengan kedua telapak tangan. "Nata gatau sih, apa yang aku rasain tadi."

Franky masih disana, mencermati kalimat demi kalimat yang mereka bicarakan.

Alena memeluk, untuk terakhir kalinya.

Ananta terkejut dan hampir terjatuh, sebab ulah Alena."Everything's gonna be alright, bestie," ucapnya, menenangkan. Alena mundur selangkah, sambil mengusap air mata yang menempel di pipi. Pikirannya sedikit membaik. Tapi, ia tak yakin untuk esok dan seterusnya. Ia takut sekali. Mungkin, jika Ananta tidak datang, bisa saja Alena mati ketakutan bersama Franky.

Franky juga ikut serta menenangkan Alena. Dan, saat itupun, empat bayang-bayang mulai berjalan ke arah mereka, dari arah yang berlawanan.

Alena cepat-cepat menghapus air matanya, sampai ia rasa sudah tak tersisa, lagi. Ternyata, bayang-bayang tersebut adalah orang-orang yang ia jumpai sejak tadi. "Selamat! Royalti yang akan kalian dapatkan enam puluh persen. Viva News, berterima kasih kepada kalian berdua, berkat berita yang terus terupdate, peningkatan penonton langsung membludak. Karena itulah, mereka memberikan lebih. Juga ada bu Selvie, walaupun tak memberikan upah, tapi ia berterima kasih banyak, telah membantu." Christofel menerangjelaskan perihal pembicaraan yang tadi, sambil berjabatan tangan pada Alena, lalu Franky.

Hati Alena ketir-ketir menampilkan senyum yang dibuat-buat. "Terima kasih, pak Chris. Makasih juga bu Selvie, dan pihak dari Viva News," ujar, Alena. Begitu pula Franky, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan mereka, terhadap dirinya dan Alena, telah memberikan pengalaman baru.

"Jangan besar kepala, kasus ini belum sepenuhnya terselesaikan." Christofel terkekeh kecil. Ia mengingatkan bahwa, mereka tidak boleh takabur. Bukan hanya pada Alena dan Franky, tetapi seluruh anggota kepolisian serta orang-orang yang pernah ia temui. Sifat takabur, memang penyakit hati. Alena dan Franky memberikan hormat. "Siap, pak," ujar, mereka, secara bersamaan diiringi tawa bahagia. Entah mengapa, perasaan merasa risau, bercampur cemas, hilang dari tubuh Alena.

Berbeda halnya dengan seseorang, dibalik ambang pintu masuk Auditorium SMA Adyiwinata. "Gue suka ini, nih." Jemari tangannya menari dengan indah, diatas layar telepon. Seketika, semua orang mendapatkan bunyi notifikasi masuk, secara bergantian. Setelah merasa sudah cukup, ia meninggalkan Auditorium.

Alena mengernyit keheranan. Mengapa semua orang mendapatkan bunyi notifikasi masuk, tapi ia tidak. Sekali lagi, Karena tidak yakin, ia mengecek lagi kepastian bunyi serta jaringan. Apakah jaringannya sudah di aktifkan, atau suara hening yang disengaja. Segalanya berjalan dengan normal. Tidak ada gangguan, pada telepon genggamnya. Alena mengangkat bahu acuh, lalu menyimpan kembali teleponnya ke saku rok sekolah.

Berhati-hatilah, ia sedang mengincarmu

Best regards,

Human

Panik. Satu kata itu, mewakili perasaan seluruh penghuni yayasan pendidikan Adyiwinata. Tak hanya SMA-nya saja, TK hingga SMP-nya pun juga turut serta, dalam korban selanjutnya pembunuhan berantai. Franky mengepalkan tangan, sembari bersitatap dengan gedung tersendiri, dalam yayasan Adyiwinata. Ini bukanlah waktu yang tepat, untuk mengutarakan rasa tersebut. Ia berjalan menuju tempat itu, tidak peduli orang-orang menghalangi jalannya. "Eh, mau kemana?" Tanya bu Selvie, setengah berteriak. "Menyelesaikan masalah dengan seseorang," ucapnya, tanpa menengok ke belakang.

Sampailah Franky di gedung tujuan. Tak perlu repot-repot mencari, pelaku yang kini menjadi sasaran telah didepan mata. Franky menarik jubahnya ke belakang. Berhasil. Pelaku terpental sangat mengenaskan dibawah sana. Franky membuka penutup kepalanya, mencari tahu bentuk rupa pelaku. "Cecilia?" Franky berdecih. Bisa-bisanya, permainan dimulai tanpa persetujuan dari pihak ketiga. Apalagi, si ketua osis yang menjadi tameng pelindung. "Mau-mau aja dijadiin babu," sindir, Franky.

Cecilia mengusap darah dibagian samping bibirnya, akibat terbentur tadi. "Ngaca." Sesekali ia mendesah kesakitan pada area bibir yang terluka.

Franky berkacak pinggang, memutari Cecilia yang terduduk kesakitan di lantai, layaknya seorang penindas pada adik kelas. "Dimana, dia?" Tanyanya.

Cecilia menggeleng.

Franky memutar bola mata, malas. Akal-akalan Cecilia pasti, karena tak mau memberitahukan keberadaan orang itu. Franky mencengkeram dagu Cecilia. Cecilia memberontak, tetapi Franky mencegatnya. "Ngomong sekarang, atau mau kayak Dayat?"

Tepukan tangan menggema dalam ruangan yang mereka tempati. "Mau melewati tahta, nih, ceritanya?" Franky melepas cengkeraman pada Cecilia secara mendadak, kemudian beralih pada sang biang kerok. "Janji yang disusun, bukan hari ini," ujar, Franky, mengambil ancang-ancang. "Gebetanmu, terlalu cantik, sih. Saya gak tahan." Ia berjalan menuju Cecilia, menolongnya untuk segera berdiri.

Dadanya naik turun. Gebetannya adalah mainan miliknya, itu hak miliknya. Bukan orang lain. Apalagi, untuk si bajingan dihadapannya ini. Franky tidak akan rela. Tepat sekali. Franky berlari sekuat tenaga, dan tidak pikir panjang, ia menendang punggung pria bajingan itu, hingga terpelanting jauh beberapa meter dari Cecilia. "Kita punya janji, Bung. Tapi, lu malah seenaknya ngubah tanpa persetujuan dari gue. Lu mau, email lu di retas, bodoh?" Ia ingin menghampiri Franky. Namun, tulangnya terasa lunglai. Franky menggerutu, melihat tingkah lakunya.

Cecilia berdiri, seraya merapikan dirinya. "Aku akan hubungi pihak Bimbingan Konseling, agar emailnya segera di non aktifkan."

( ꈍᴗꈍ)

TO BE CONTINUED

Seminggu sekali, ya, gengs. Aku gak kuat nulis tiap hari. Otakku kecapekan, hiks.

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang