Alena telah sampai di kelasnya, setelah beradu cekcok dengan Franky; teman satu tempat kerja. Kelas sebelas Bahasa satu. Inilah kelas, tempat ia mencari ilmu untuk keempat kalinya. Bukan. Sebenarnya, sewaktu sekolah menengah atas dulu, Alena hanya kelas satu layaknya sekolah dasar, entah dia yang kurang update, sekarang sekolah menengah atas mempunyai jenjang lebih banyak, contohnya, IPA, IPS, dan Bahasa. Tambahan, untuk sekolah berbasis agama, ada tambahan jenjang kelas, yaitu Agama.
Namun, Alena dikelas ini, bukan semata-mata ia memintanya, tetapi berdasarkan penelitian tentang kasus akhir-akhir ini di sekolah tersebut. Menurut siswa dan siswi, kelas Bahasa lah dalang dari kasus pembunuhan berantai. Akhirnya, bu Selvie, menempatkan Alena di kelas Bahasa.
Ia berdiri didepan kelas menghadap murid-murid, serta bersama Layla, selaku wali kelasnya. "Anak-anak. Ini adalah murid baru dikelas kalian. Silahkan, perkenalkan namamu." Ujar, Layla, tersenyum ramah pada Alena.
Gugup dan takut. Seumur-umur, Alena tidak pernah melihat tatapan menyeramkan seperti itu. Orang-orang yang akan menjadi temannya, berlaku tidak sopan. Ada beberapa yang mendesah sebal, hingga menatap tak suka. Alena merasakan itu. "Perkenalkan, saya Alenayya alfatunnisa, salam kenal."
"Pindahan darimana, nih?"
"Iya, kok, gak sebutin merek?"
"Parah! Sekolah lama, gak disebutin. Murid macam apa ini."
"Jangan-jangan, mata-mata lagi?"
Serentak, mereka semua tertawa. Tangan Alena mengepal. Tidak ada yang lucu. Dasar, selera humor rendahan! Batin Alena, menggerutu. Ingin sekali ia menyebutkan nama sekolah, tapi dia sudah dihadang oleh berpuluh tanggapan. Apalagi, yang terakhir. Bisa masalah, kalau seluruh murid di yayasan Adyiwinata mengetahuinya. Cukup guru, kepala sekolah dan kepala yayasan saja yang tahu, seluruh murid yayasan Adyiwinata jangan. Reputasinya akan gagal total. "Saya dari SMA Nusa Cendekia." Ujar, Alena.
Kembali seperti semula, tatapan mereka malah lebih intens dan menyeramkan. Layla yang sudah mengetahui kondisi ruangan sekarang, langsung memegang pergelangan tangan Alena, memberi isyarat, semua baik-baik saja, dan tetap berjaga-jaga. "Sudah habis masa perkenalannya, silahkan Alena mencari tempat duduk yang kosong." Alena mengangguk seraya berjalan menyusuri ruangan kelas paling belakang, dan tepat ditengah.
"Aw!" Ia meringis. Dilihatnya ke belakang, ternyata bangku yang ingin ia duduki, tempatnya telah bergeser. Setelah itu, terdengar suara terbahak-bahak, lagi. "Cukup! Kalian mau saya hukum?" Layla menggebrak meja, dan berdiri lantang. Hening. Tak ada yang berbicara. "Udah dewasa, pikirannya masih anak-anak." Ucap, Layla.
Alena menarik bangkunya tadi, kemudian didudukinya dengan perasaan penuh amarah. Mereka tidak tahu siapa dia sebenarnya. "Lu salah milih sekolah, bung." Alena menengok ke kiri, mendapati seorang lelaki muda dengan senyuman hampa. Alena membalikkan badan, berusaha menghiraukan orang itu.
***
Ke depan gerbang sekarang.
Alena membaca pesan masuk dari Reno. Sudah ia duga, Reno membawakan bekal untuknya. Bekal buatan Rara untuk sang kakak ipar, Alenayya. Ia berjalan menuju gerbang yayasan. Dia bersyukur, sekolah yang jadi tempat bekerja sekaligus belajar ke empat ini, jaraknya cukup dekat dengan gerbang sekolah. Hanya tujuh puluh meter. "Gimana, betah?" Tanya, Reno.
"Gak!"
"Namanya juga pekerjaan. Sebentar lagi, bakal betah."
"Apanya yang betah. Tadi dikerjain habis-habisan sama anak-anak. Mereka gatau apa, yang dikerjain ini tuh, lebih dewasa sepuluh tahun."
"Hahaha. Ya sudah, aku balik dulu ya. Banyak pasien menunggu." Pamit, Reno, seraya mencium puncuk kepala Alena. Kini, setelah Alena yakin Reno sudah pergi, ia mulai berjalan memasuki pekarangan yayasan. Tak lama setelah itu, muncullah Franky, membawa sebuah tumpukan kertas. "Di cariin, ternyata disini. Ayo, ikut, kita ke ruangan bu Selvie."
Selama di perjalanan, Franky berceloteh riang, layaknya anak-anak. Mulai dari membicarakan tentang kelas yang ia tempati hingga murid-muridnya yang hypebeast abis. "Kalau lu, gimana tadi?"
"Ngeselin." Ucap Alena, sembari berjalan lebih cepat dari Franky.
"Namanya juga anak-anak."
"Mereka bukan anak-anak." Alena meralat kalimat yang diucapkan Franky. Benar. Penghuni kelas sebelas Bahasa satu, bukanlah anak-anak, mereka hanyalah orang-orang beranjak remaja, yang butuh kasih sayang. Alena segera membuka pintu masuk ruangan kepala yayasan, dan memberi salam.
"Bagaimana? Sudah dapat informasi?" Tanya Selvie, langsung ke inti pembicaraan. Dia tidak mau berlama-lama lagi, dengan kasus ini. Lebih cepat, lebih baik, bukan?
Baru saja Alena ingin angkat bicara, sudah ditodong oleh Franky. "Belum, bu. Tapi, saya mendapatkan informasi lain." Ucap Franky, seraya menyerahkan tumpukan kertas ke atas meja yang terbuat dari kayu jati. "Saya habis ke perpustakaan, terus dapat kertas-kertas ini. Dilihat, ada beberapa kertas terkena percikan darah. Ini bisa jadi bukti, dan pelacakan kita berdua nanti." Jelas, Franky.
Selvie mengambil alih salah satu kertas yang dibawa Franky, lalu diamati secara seksama. "Ini robekan kertas dari buku tulis."
"Iya, benar, bu." Franky mengangguk.
Begitu juga dengan Alena, mengamati tumpukan kertas diatas meja. "Tulisan ini bisa diselidiki, bu." Alena angkat bicara.
"Benar juga. Saya simpan satu, untuk diselidiki. Yang lain, mending kalian simpan saja, dan bantu selidiki juga."
"Siap, bu!" Tegas mereka.
Alena dan Franky kemudian keluar dari ruangan, membawa setumpuk kertas tadi. Perasaan gugup mulai menyelimuti keduanya. Apalagi pada Alena. Murid-murid di kelasnya, tidak bisa diajak toleransi. Sampailah Alena di dalam kelasnya, ia masukkan tumpukan kertas itu, secepatnya ke dalam tas. Takut bila ada yang lihat, mereka akan mencari tahunya. Ditambah, dia di sekolah ini, seperti orang asing. Untung-untung jikalau ada yang ingin menjadikannya sebagai teman.
Lelaki yang sempat berbincang dengannya sewaktu dikucilkan, datang memasuki kelas. Sama seperti sebelumnya, wajah tidak ada yang berubah, malah semakin menyeramkan. Ia duduk, lalu menatap Alena dan tas secara bergantian. Alena mundur selangkah. Terus menerus, dan berlari terbirit-birit keluar kelas.
༼;´༎ຶ ༎ຶ༽
TO BE CONTINUED
Maap, baru up. Baru selesai diketik, soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]
Mystery / ThrillerDILARANG KERAS UNTUK MEMPLAGIASI CERITA INI, BAIK MENGGANTI NAMA, DAN SEBAGAINYA. KETAHUAN PLAGIAT!? AKAN DITINDAK LANJUTI! °°° [Seri pertama, dalam Horror/Mystery story] Seluruh penduduk SMA Adyiwinata sama sekali tak menyangka, ada kasus pembunuh...