Terjadi

544 45 0
                                    

"Kerja yang bagus, nak. Kembangkan!" Pria itu menepuk-nepuk tangan bahagia. Anaknya yang satu ini, sudah bisa diajak kerja sama. Padahal, dulunya, dia phobia dengan benda tajam, serta darah. Kini, malah berbanding terbalik. Sekali lagi, ia menepuk tangan dengan raut wajah bahagia. Ia mengambil gawainya, menunjukkan video tadi.

Didalam video itu, permainan yang ia ciptakan bersama korban, terlihat mesra. Dia menarik lidah sang korban, lalu mengguntingnya secara perlahan. Tak lupa, tangan dan kaki juga diikat, agar korban tidak kabur. Hingga sekarang, korban itu masih hidup, hanya saja cacat dibagian lidah. "Makasih atas kunjungannya. Gue gak yakin, lu bisa lepas, setelah bekerjasama disini. Gimana? Atau kita main-main aja, sama dia?"

Sang korban menggeleng ketakutan. Ia mencoba membuka ikatan pada tangan dan kakinya, namun, nahas. Sangat erat. Akhirnya, salah satu jalan terakhir adalah, pasrah. "Cup cup cup." Pria berumur dua puluh delapan tahun langsung mengambil alih. Ia menarik rambut korban sangat kuat menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang pisau tumpul. "Jangan nangis. Laki, kok, nangis?" Segera dia potong rambut korban menggunakan pisau tumpul. Sang korban berteriak parau. Beberapa helaian, tercabut mengeluarkan darah segar. "Atau, otaknya kita cabut, terus diganti dengan otak hewan? Kayaknya, lebih pantas otak hewan dibandingkan dengan otak lu yang gak berguna! Bastard!" Satu tamparan keras mengenai pipinya. Perih.

"Untung, ada anak gue."

"O, u, uah beapa maya yang o buuh? Kepaa!" (Lo, tuh, udah berapa mayat yang lo bunuh? Keparat!). Kalau saja dia bisa lolos, ia ingin segera mencabik-cabik dan tak mau memaafkannya lagi.

"Berapa? Gatau, sih. Ini cuma seneng-seneng aja. Kalau ada yang butuh bantuan, karena kesel, dan punya dendam, bisa hubungi, gue. Gue, siap membantu." Pria berumur kepala dua menyeringai.

"Liaa aa, kaau aya oos! Aya aka baas eam!" (Lihat saja, kalau saya lolos! Saya akan balas dendam!).

"Lolos, ya? Hm. Kayaknya, kaki mulus ini, cocok juga kalau di ajak main." ucap, pria berumur kepala dua. Ia meminta bantuan kepada anaknya, untuk mengambil benda tajam lain, selain yang berada disisinya. Anaknya mengangguk, kemudian membawakan gergaji serta alat pemotong rumput. "Mau main yang mana, nih? Kiri atau kanan?" Sambil memperlihatkan benda tersebut. "Kiri aja, deh." Benda tajam yang diputuskan untuk dipakai, adalah gergaji.

***

Alena sudah berada dalam toilet, hampir sejam penuh. Niat ke minimarket ia urungkan untuk pergi ke toilet. Ia merenungkan diri, sembari menunggu Franky datang, untuk menyelesaikan kasus ini. Hari sudah larut, matahari akan terbenam, menampilkan sunset. Alena menengok ke luar toilet, melihat suasana yayasan Adyiwinata. Satu kata, mengerikan. Walaupun bangunan terlihat mewah, ala sekolah modern, tetapi, suasana mencekam masih menyelimuti sekolah ini. Alena kembali masuk, tidak mau melihatnya lagi. "Gila, nyeremin banget" ucapnya, diikuti dengan kengerian mendalam.

"TOLONG!"

"TOLONG!"

"TOLONG!"

"Cecilia!" Ia baru sadar, kalau Cecilia sendirian di ruangan kepala yayasan. Alena berlari menemui, Cecilia. Jarak toilet SMP Adyiwinata dengan ruangan kepala yayasan, cukup jauh, sekitar dua ratus meter. Napas memburu, tak dipedulikannya. Sekarang, ia harus mempedulikan nyawa, Cecilia, ketua osis. Belum sampai di tujuan, dari jauh sudah terlihat dua orang memakai topeng. Alena mundur, kemudian berbalik arah. Tapi, waktu seolah berkata lain. Dua pria tersebut melihat wujud Alena. Mereka mengejar sekuat tenaga.

"Berhenti atau mati?"

"Aish." Ia mendesah berat. Napasnya diatur sedemikian rupa agar bisa bernapas seperti biasa. "Mimpi, buruk." Alena menguap, seraya mengucek-ngucek mata. Ia melihat sekilas jam yang menempel di dinding, sudah siang.

***

Cecilia masuk dengan wajah memberengut. "Kak. Daritadi aku nelpon, gak di angkat." Ucapnya, memberitahu.

Alena menghela napas, lelah. Ya sudahlah. Mungkin, Franky mempunyai urusan pribadi, Alena mengerti. Dia memanggil Cecilia masuk, lalu berunding kembali mengenai kasus ini. Cecilia berkata, ia sudah memberitahukan kepada anggota Osis, ikut serta menyelidiki kasus pembunuhan berantai di sekolahnya. Alena mengangguk setuju. Apabila hanya ia dan Franky yang terlibat, masalah akan lebih lama selesai. "Oh, iya." Alena membuka retsleting tasnya, mengambil selembar kertas. "Kakak, dapet kertas ini di dalam tas." Ucapnya, seraya menyerahkan kertas tersebut.

"Ini, dapatnya setelah kejadian kertas hilang yang dari perpus, itu?" Tanya, Cecilia.

Alena mengangguk.

"Kayaknya, mereka punya mata-mata, deh, kak."

Alena mengangkat bahu.

"Selamat datang" Cecilia membacakan kalimat itu. Kalimat yang ditulis dengan huruf kapital, dan tulisan berwarna merah. Ada beberapa bercak merah juga di sisi-sisi kertasnya. Cecilia mencium aromanya, "Bau, amis."

Alena menatap jendela. Langit sudah mulai malam. Pertanda, ia harus cepat pulang. Tidak lama, muncullah Selvie. Terlihat, bulir keringat membasahi dahi. "Maaf, ya, saya baru sampai." Selvie meminta maaf, sembari menuju sofa. "Bagaimana? Sudah mendapat titik cerah?" Mereka semua memandang satu sama lain.

Cecilia menjelaskan secara terperinci, pada kepala yayasan. Mulai dari tulisan hingga kertas aneh di dalam tas Alena. Selvie terkesan. Ia tersenyum sumringah, kasus pembunuhan berantai yayasan ini akan segera berakhir.

⊂(・﹏・⊂)

TO BE CONTINUED

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang