"To be honest ..."
"Gausah sok inggris lu! Masih makan nasi ama teh aja belagu. Ngomong pake bahasa sehari-hari napa," gerutu, Gery, malas.
Andre menarik napas, kemudian di keluarkan dengan kasar, sembari menatap sinis paras Gery yang kelewat sebal. "Sehari aja, lu jangan ngurusin hidup gua? Apa yang gua lakuin pasti dikritik. Kesel gua." Percekcokan terjadi secara terus-menerus antara Andre dan Gery tanpa ada yang mau mengalah. Sonder mereka sadari, jika sedari tadi juga terjadi hal mengerikan di dalam kamar yang Alena tempati sekarang. Seperti dibius, keduanya masuk ke sana ketika kejadian itu telah selesai. Yah ... itupun nanti dingatkan oleh Vano.
"Kenapa harus pak Mahmud yang turun tangan sama ni anak, kalau mereka bisa?" tanya, Gery, sembari memutar kunci pintu kamar ke kiri, balik lagi ke kanan.
Andre mengangkat bahu acuh, dan lebih memilih membiarkan Gery memasuki ruangan yang dituju. Dirinya masih sakit hati atas perlakuan Gery tadi. Dia kira dengan perkataan menjatuhkan layak tadi, menyenangkan? Tidak. Itu sama sekali tidak menyenangkan. Apalagi si Gery malah menjatuhkan dirinya yang sedang mempelajari bahasa asing. Padahal, orang seperti itu harusnya diberikan semangat agar ia tetap belajar lebih giat mengenai bahasa asing. "Ndre, kok nggak ke buka?" tanya, Gery. Berkali-kali Gery mencoba membuka pintu kamar itu, namun sia-sia. Tak mau terbuka.
Lagi. Andre memberengut, membuang wajah, lantas mengangkat bahu acuh. "Gatau."
"Anjirlah jangan kayak cewek dong. Lo tuh laki! Harusnya lo kuat dong, gua becandain kek gitu."
Tidak ada respon. Hanya bunyi cicitan engsel pintu yang dipaksa buka oleh Gery. "Oke! Fine! Gua minta maaf!"
"Sekarang, bantuin gua buat keluarin ni anak," lanjut, Gery.
Andre membalas ucapan Gery tadi, dengan mengernyitkan kening. Bukannya tidak mengerti, hanya saja seperti apa sih? Buka pintu doang susah amat. Katanya laki. Sebaliknya, Gery yang melihat ekspresi Andre, langsung pergi dari sana menuju halaman belakang tepat dijendela yang ditempati Alena. Hujan, badai, ataupun ular-ular laut yang sedang menari-nari indah di bawah jendela sana, Gery hiraukan demi uang. Manusia jenis apa tidak menginginkan uang? Pasti, semua menginginkannya.
Ketika Gery hendak memasuki halaman belakang, ia mendapati Franky yang sedang menikmati kopi susu. Gery mendatanginya, siapa tahu Franky bisa menjinakkan ular-ular laut tersebut. "Anu ..." sapa, Gery. Ia bingung memulai percakapan dari mana.
Franky berdiri, menyamakan tingginya dengan Gery. Sebelum berbicara, ia membersihkan kemejanya terlebih dahulu. "Kenapa?" tanya, Franky, tanpa perlu basa-basi.
"Alena ... A-lena k-k-kek-kunci di kamar," ucap, Gery putus-putus. Tak perlu menjelaskan lagi, Franky berlari secepat mungkin membuka jendela kamar yang ditempati. Layaknya sihir, ular-ular itu dengan mudahnya patuh pada Gery. Padahal, Gery sama sekali belum pernah menampakkan wajah tampannya di hadapan mereka --si ular laut--. Bukan hanya itu saja yang membuat dirinya terkejut, wanita di depannya pun, membuat diri Gery melongo seperkian detik. Ya Tuhan, apakah ini benar Alena? Yang katanya wanita tangguh se-kantor polres Manado? Tetapi mengapa, sekarang ini malah kebalikannya? Apakah Tuhan ingin mengatakan, melalui perantara hambanya yakni Alena, bahwa semua pasti merasakan, apa yang belum dirasakan? Sudahlah, daripada terlalu banyak memikir, lebih baik menenangkan Franky.
"Aku udah berjuang buat dia gak sengsara, malah sia-sia! Sekarang, APA!? ALENA MUNTAH DARAH, GER! MUKANYA BIRU! TANDA-TANDA ORANG YANG UDAH MATI!"
"Tenang, tenang. Alena pasti belum tinggalin kita, kok."
Ya, sungguh betul yang dikatakan Franky. Alena muntah darah dengan warna merah bercampur hitam pekat, ditambah wajah berwarna biru-kehijauan. Tapi, satu hal yang sangat absurd bila dipandang secara terang-terangan. Alena. Wajahnya mirip gadis yang sempat Gery lihat waktu itu dengan Vano di dapur. Kejadian sebelum Gisella dan Randini dibunuh. Niat hati menanyakan perihal wajah Alena yang berubah pada Franky, namun diurungkan, sebab suasana saat ini tidak kondusif. "Telepon ambulans!"
"Tapi, rumah ini jauh banget sama perkotaan," ucap, Gery, takut-takut.
"Cepet telepon ambulans!"
***
Tepat jam dua belas dua puluh satu menit malam, pesawat Wings Air dengan nomor penerbangan AC5678 mendarat sempurna di bandara. Pria bermantel Merah Darah turun, memesan taksi menuju Desa Pai, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tetapi sebelum itu, ia mengunjungi tempat yang jarang terjamah oleh orang-orang. Ya, tempat apa lagi kalau bukan kuburan. "Bapak yakin, tengah malem gini ke sini?" tanya si supir taksi.
Pria itu mengangguk, samar-samar memberikan senyuman tipis. "Iya, pak. Saya yakin. Soalnya saya pengen ziarah," ujarnya, sembari menyerahkan tiga lembar uang lima puluh ribuan ke supir taksi tersebut.
Supir taksi menerima uangnya, lalu bergidik ngeri. "Hiiiii ... bapak gak takut?"
"Gak. Saya sudah biasa selama sepuluh tahun terakhir," balas si pria bermantel.
Cepat-cepat si supir taksi menaikkan kaca mobil, kemudian menginjak pedal gas agar mobilnya segera pergi dari tempat itu. Pria bermantel tadi, menguji ketakutannya dalam kegelapan di tempat yang tak biasa. Benar-benar pria bermantel Merah yang aneh.
Tidak peduli dengan sikap supir tadi, si pria bermantel ini melilitkan kain berwarna cokelat di pergelangan tangannya. Salah satu cara untuk bisa berziarah. Setelah itu, berjalan mengunjungi tempat yang dituju. Rieke Vionita Putri Alexandra, nama makam gadis berusia enam belas tahun, yang meninggal pada tahun dua ribu sembilan. "Hiuber giofer terasu," ucap, pria itu. Pasti ada yang menayakan, maksud dari kata tadi. Itu adalah mantra pemanggil untuk si nama gadis empat kata. Mantra itu dia dapatkan di tempat terlarang. Sangat larang. Sedangkan Tuhanmu pun melarangnya ke sana.
"Mau apa lagi kau ke sini? Masih belum puaskah kau mempermainkan anak kecilku? Cukup sudah dia siksa di dunia, tak usah sampai kau bawa juga ke ranah yang berbahaya."
"Saya dan dia sudah berjanji, dan janji ini tidak main-main," ucap pria bermantel, yang masih meneruskan kegiatannya memanggil, Sandra.
"Dia memang tidak main-main. Tapi. Tapi kaulah yang main-main! Kau pikir setelah memakai jasa anakku untuk kebutuhan ekonomimu, serta kebutuhan ekonomi siswa SMA Adyiwinata akan sejahtera?"
"Ya, tentu saja sejahtera. Saya menjual organ-organ korban yang saya bunuh, lalu mendapatkan uang milliar-an rupiah! Apa itu belum sejahtera?"
Suara tawa menggema di telinga. Tawa yang lebih mengarah ke perasaan marah. "Jadi benar yang dikatakan suamiku? Bahwa engkaulah pelaku pembunuhan yang terjadi di Kawasan saat itu? Dan kau yang membunuh suami tercintaku, untuk diambil organnya? Benar, begitu?"
Pria bermantel Merah Darah mengangguk mantap.
Tiba-tiba, sosok yang berbincang dengannya, berubah wujud menjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Lebih mengerikan daripada emak-emak yang marah ketika tupperware-nya hilang.
Lamat-lamat, pria bermantel mengamati tubuh si pembincang. Wujudnya yang besar dengan tinggi tiga puluh meter, serta lebar pundak sepuluh meter. Belum lagi taring yang panjang, tanduk, kuku tangan hingga kaki berwarna merah darah. Wujud itu geram sekali. Ia menggaruk wajah lawannya. Mengakibatkan goresan luka yang ternganga lebar. "Aku tidak mungkin menyuruhmu minta maaf. Karena minta maaf tidak akan mengembalikkan aku, anakku, dan suamiku kembali. Maka dari itu, kau juga pantas untuk ikut dengan kami!"
(눈‸눈)
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]
Mystery / ThrillerDILARANG KERAS UNTUK MEMPLAGIASI CERITA INI, BAIK MENGGANTI NAMA, DAN SEBAGAINYA. KETAHUAN PLAGIAT!? AKAN DITINDAK LANJUTI! °°° [Seri pertama, dalam Horror/Mystery story] Seluruh penduduk SMA Adyiwinata sama sekali tak menyangka, ada kasus pembunuh...