Pecah

285 30 0
                                    

Reno mengepalkan tangan. Sudah cukup perbuatan mereka saat ini. Alena bukanlah mainan. Alena itu manusia, bukan boneka yang diperlakukan seenak jidat sendiri. "Kalian berdua naik ke mobil, cepat!" perintah, Reno. Renata dan Ananta membuka pintu mobil jok bagian tengah. Setelahnya, Reno menancapkan gas menelusuri kota Manado. Renata sibuk menelpon Rara --adiknya-- menanyakan kabar, apakah Alena di sana. Namun, nihil. Alena tidak ada. Telepon pada orang tua Alena langsung, tak pernah diangkat. Mereka kalang kabut. "Alena, Alena, Alena, kamu dimana." Berulang kali Reno menyebut nama Alena, dan berulang kali juga ia menekan kasar klakson mobil. Sedangkan, Ananta? Ah ... Ananta sibuk memperbarui beranda google maps di gawai milik Reno. Dia masih memegang semboyan andalannya, yakni, berusahalah sampai kamu sudah tak sanggup untuk berusaha.

"Reno! Alena aktif lagi!" ucap Ananta, histeris. Mendadak, Reno menghentikkan mobil, melihat apa yang dikatakan Ananta benar atau hanya tipuan belaka.

Matanya menyipit, beriringan dengan otak yang mencerna satu per satu gambar beserta tulisan di layar telepon. "Bandara Sam Ratulangi? For what?" tanya Reno pada diri sendiri.

"Kak Reno, that's not Alena! That's a criminal! Trust me!" kata Renata, meyakini. "Kita sudah dekat dengan Alena puluhan tahun, and i know, itu bukan Alena!" lanjutnya.

"Alena atau bukan, kita harus ke sana. Hanya hp aku dan Alena yang mempunyai akun gmail yang sama." Kembali bersama perasaan menggebu-gebu, Reno memutarbalikkan mobil ke arah berlawanan, menuju bandara Sam Ratulangi Manado. Kali ini, dia berminta maaf sebesar-besarnya kepada para pasiennya, karena telah membatalkan konsultasi. Masalahnya, ini tentang nyawa seseorang. Seseorang yang sedang bersama dengan malaikat gadungan pencabut nyawa.

***

Semua alat untuk berperang akan segera siap. Ia, si wajah masam tinggal menunggu waktu yang pas untuk mengambilnya. Tinggal sedikit lagi, beberapa saat saja, menunggu sang pesuruh menelpon. Dan benar saja, pesuruhnya menelpon, memberitahukan jika mereka sudah di tempat kejadian perkara. Kamera penghubung antara bos dan bawahan sudah dinyalakan. Taktik demi taktik pun sudah mereka susun sedemikian rupa, depan sang atasan, agar tidak gagal. "Ingat, uang adalah oksigen kedua kita. Jangan sia-siakan itu." Pesannya, sebelum akhirnya pesuruh-pesuruh tersebut pergi menjalankan misi.

Di seberang sana, mereka sedang menyimak secara saksama. Akhirnya, belum sampai dua puluh menit, korban sudah terjebak dalam perangkap. "Kayaknya Tuhan berpihak sama kita kali ini," tutur Andre, penuh harap.

"Belum berpihak namanya kalo belum selesai, Juminten. Lagian mana mau Tuhan merestui pekerjaan kita yang kayak gini. Heran gue ama pikiran sempit lu, ckckck," ujar Gery, berdecak malas. Ia refleks bertanya-tanya dalam batin, mengapa bisa ia disatukan lagi bersama otak lamban seperti, Andre.

"Ssst!" Pangeran bersuara, menyuruh mereka agar tak membuat bunyi yang bisa menggagalkan rencana. Ia kemudian kembali fokus mengamati, kemana dia akan menuju. Dugaannya benar, wanita cantik itu memasuki mobil. Sesegera mungkin ia melepaskan ransel dari punggung, membuka ritsleting paling depan, lalu mengambil sebuah kertas origami. Dibuatnya bentuk pesawat terbang supaya lebih mudah menjangkau korban. "Nih." Setelah selesai, ia berikan pada anak buahnya. Mereka langsung terpaku, menatap satu sama lain. Tidak tahu maksud sebenarnya apa.

"Uh, sorry. I forgot to explain. Tulis di situ, apa yang sedang mereka bicarakan saat ini," lanjutnya.

"Nusa Tenggara Barat?" tanya Gery, ragu-ragu.

"Ofc. Then, write it!" perintahnya. Sekadar informasi, namanya bukanlah pangeran. Hanya saja di sini, perannya sebagai seorang pangeran, yang sedang dimabuk asmara oleh wanita cantik dua puluh tujuh tahun di dalam mobil sana. Ayahnya jua.

"Udah. Abis itu diapain?" tanya Andre.

Tanpa aba-aba, sang pangeran mengambil barang tersebut, kemudian melayangkannya ke udara, mengarah si cantik. Tepat sekali, pesawat terbang yang terbuat dari kertas origami, telah mendarat dengan mulus di kaca riben bagian depan mobil.

"Bos, itu gak menarik samsek untuk dipandang," ucap Andre.

"Tenang aja, dia suka hal yang terbuat dari kertas origami. Gue yakin, ini pasti bakalan berhasil."

"Tau dari mana, Alena suka perihal kertas origami?" tanya Gery.

"Sudah pernah bersinggah ke rumahnya. Dan hampir menjelajahi."

"Halah, paling cuma mimpi," kata Andre, meremehkan.

"NO!" bantahnya tidak terima. Ia akan membuktikan, jika Alena adalah seorang penyuka kertas origami. Tak sampai tiga menit, kaca mobil bagian samping turun secara perlahan menampilkan Alena, wanita paling cantik yang pernah ia lihat. "See?" Tatapan lembut, diikuti senyuman jahat. Siapa lagi kalau bukan Vano.

***

Mobil sudah terpakir dengan aman, sudah dikunci, dan para penumpang pun telah turun. Tinggal saatnya mencari keberadaan Alena. "Nyalain lokasi, kita lanjut cari Alena, lagi," titah Reno. Ananta seketika merogoh saku celana, mengambil gawainya. Aduh lucu sekali, padahal Ananta awal datang menemui mereka ingin meminta bantuan mencari Gisella, malah yang terjadi berbanding terbalik dengan ekspektasi. Tapi apa boleh buat, Alena adalah sahabatnya, Renata adalah sahabatnya dan Reno adalah sahabatnya juga. Tidak mungkin dia biarkan begitu saja. "Aktif tujuh menit lalu, Ren"

"Masuk ke dalam. Jejak mereka pasti belum hilang." Reno menginstruksikan kepada Renata dan Ananta, untuk menjelajahi bandara. Keduanya langsung mengangguk setuju, seraya berjalan cepat. Berbagai cara telah dilakukan. Bertanya ke petugas bandara, bertanya orang sekitar sambil melihatkan foto Alena melalui gawai, namun percuma. Jejak mereka, sudah tidak ada secepat itu.

Reno menutup wajah, kemudian berjongkok lemah di depan adiknya Renata dan juga Ananta. Seumur hidup, dia baru merasa tak becus mengurus orang yang disayangi. "Len ... " gumam, Reno, memanggil nama kekasihnya.

Ananta mendekat, mengusap lembut punggung Reno sembari memberi semangat. "Eh iya, gue baru inget. Sebelum kita naik mobil nyari Alena, gue dapet pesawat terbang ini." Ia menyeluk saku, mengambil pesawat terbang dari kertas yang sempat ditemukan.

Renata memutar bola malas, "yaelah, pesawat terbang doang."

"Dengerin dulu. Ini bukan sekadar pesawat terbang biasa, yang sering dimainin kalo lagi gabut. Tapi, ini punya petunjuk yang harus kita pecahin. Nih baca, sampai jumpa di Nusa Tenggara Barat, Kecamatan Wera Desa Pai, ya. Ingat. Tubuhmu, milikku juga."

Kalimat terakhir membuat Reno berdiri dengan lantang, geram atas penulisan tak adab. "Maksudnya apa tubuhmu milikku juga?"

"Tenang, Ren, tenang. Tujuan kita saat ini, ikuti petunjuk yang ada di pesawat terbang. Siapa tahu, di sana ada Gisella," saran, Ananta.

"Bener juga. Lagian daerahnya sama ama punyanya Gisel," tambah, Renata.

(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)

TO BE CONTINUED

Ada yang gak nyangka, gak sih, kalo biang keroknya itu Vano?

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang