Takut

363 34 0
                                    

Beberapa helaian rambut menjuntai nakal. Wajah kusam, pakaian lusuh, dan peralatan yang dibawanya berserakan dimana-mana. Pasung yang dipasang padanya sudah menempel dengan tubuh selama sebulan penuh. Dering telepon membuyarkan lamunan. Ia menengok mendapati nama kekasihnya terpampang samar dilayar. Sejak insiden benturan kepala tadi, matanya hampir tidak berfungsi sepenuhnya. Hanya emoji hati, yang dikenal. Tetapi, sejak kapan teleponnya bisa menyala? Padahal ia sudah di sini dua minggu lalu. Baterai telepon android juga setahunya sudah tak akan menyala selama itu.

Ia menengok ke arah temannya, yang sama-sama terbujur kaku. "Ran," panggilnya, parau.

"Hm," balas, Ran menyahut.

"Kiraiin udah mati," ujarnya.

Ran melirik sinis. Saat-saat seperti ini, masih saja ia bercanda dengan humor rendahannya. "Bentar lagi, kok," balas, Ran, lagi. Ia berkata, seolah, perihal kematian sudah biasa bagi hidupnya.

Suara bising mereka, mendatangkan seorang berpenampilan menakutkan. Berpakaian jubah, topeng, lebih parah memakai sarung tangan penuh percikan merah. Mereka tidak tahu, apakah itu benar darah, atau saus yang memancar mengenai sarung tangan tersebut. "Udah bangun nih." Ia terkekeh pelan.

Ran terperanjat kaget. Berbeda dengan ia -teman Ran- malah sebaliknya. Diam seribu bahasa, mendengarkan siapa orang ketiga bersama mereka saat ini. Benar ternyata, keburaman mata, menghalangi interaksi. "Siapa kamu!?" Ran menatap tak suka. Amarah yang ia pendam, kini bergejolak untuk segera dilontarkan. Orang itu mendekat, sembari mengeluarkan sesuatu didalam saku jubah yang ia kenakan. "Bagaimana kuliah? Katanya, kalian berdua udah sidang skripsi," ujarnya, kepada Ran. Ran tidak menjawab. Ia gelisah menahan bau napas pria itu. Baunya mirip bangkai busuk. Topeng yang dikenakan juga, segera ia lepaskan. Kesan pertama Ran melihat, ialah, senyuman sinis yang tak pernah lepas dari bibir.

Pria berjubah mengalihpandangkan ke teman Ran. "Cantik," pujinya. "Kamu kan, teman dari pacar Alena?" tanyanya. Gunting dari dalam saku jubahnya telah keluar. Pria itu langsung mengarahkan pada bulu mata teman Ran. "Gisella, namamu Gisella 'kan?" tanya pria berjubah itu lagi.

"Jangan sentuh dia!" Ran mendesis.

"Gak kok. Seleraku kan kamu, bukan dia. Posesif banget, deh."

"Iya 'kan, Gisella?"

Gisella tak menanggapi. Ia malah memberontak, ingin segera beranjak dari tempat kumuh ini. Pria itu mengamit, serta mencengkram erat dagu Gisella. "Takut, ya? Ah, padahal pengen kenalan malah kamu ketakutan." Ia berujar, berpura-pura merajuk. Seketika tanpa aba-aba, ia mengecup permukaan atas hidung Gisella. Emosi Ran membludak, layak bom atom di Hiroshima beberapa tahun lalu silam. Beruntung atau memang sengaja, Ran tidak dipasung seperti Gisella. Hanya diikat bagian lengannya ke belakang, kaki serta mulut dibiarkan begitu saja. Ran mengambil kesempatan emas.

Layar telepon Gisella berkedip, menampilkan nama penelpon beremoji hati. Pria berjubah mendesah, sambil menengok. "Ananta," gumamnya. Ia tersenyum sumringah, kail yang dipasang telah berhasil di tangkap oleh umpannya. Siapa lagi kalau bukan Ananta. Keinginan-keinginan yang diimpikan menambah bahagianya, kala muncul notifikasi tiga puluh dua panggilan tidak terjawab dari Ananta, pada layar telepon Gisella. Pria itu segera mengangkat, menyeting agar suara si penelpon lebih jelas terdengar.

"Halo, Gis! Gis! Kamu dimana!?"

"Nata," tangis, Gisella.

"Gis? Kamu dimana, cepat ngomong! Semua khawatir sama kamu."

"Aku ... takut ... "

"Takut kenapa? Kamu tinggal ngomong, sekarang lagi dimana!"

Sesak di dada, ia tahan. "Dia jahat." Ingin sekali Gisella mengeluarkan segala unek-unek, tetapi apa daya ketakutan sering mendiami alam bawah sadar.

"Kenapa sih, ngomong tinggal ngomong! Gausah basa-basi! Gue tanya sekali lagi. Sekarang. Lagi. Di. Ma. Na!?"

Gisella berpikir, jikalau keadaan berubah, Ananta jua akan berubah. Ternyata masih sama. Keras kepala, dan suka membentak. "Tutup sambungan teleponnya." Suara Gisella makin mengecil, saat mendengar nada penuturan kekasihnya. Pria berjubah patuh, dan menutup sambungan.

***

Kendaraan beroda dua, kini sudah terpakir di pekarangan rumah. Rumah asing, yang belum pernah terjamah oleh Ananta. Ia menekan bel, menunggu pemilik membukakan pintu. Setelah terbuka, Ananta masuk, menduduki sofa di ruang tamu. Raut-raut wajah kesungguhan, beserta obrolan panas bersama wanita dan pria paruh baya. Ya, mereka orang tua dari RZ. Randini Zakhiran. Berita hangat dikalangan mahasiswa tatkala itu, menjadi tren. Orang tua Ran, hendak mencari tahu kronologis sebenarnya melalui perantara Ananta.

"Gimana nak, Ananta? Apakah setuju?"

"Saya mempunyai harapan sangat besar pada nak, Ananta. Ditambah, teman dekat nak Ananta ini, sedang menjalani program kerja detektif, 'kan?"

"Tuh, apalagi temen nak Nata dapet proker detektif, bisa bantu-bantu  keluarga kami untuk mencari tahu seluk-beluk kejadian anak kami, Ran. Sekaligus, menambah pahala kamu, nak."

Kalimat terakhir, memaksa dirinya untuk segera membantu. Jujur, jika membantu tidak mempunyai imbalan berupa pahala, hanya uang, walaupun ditembak mati, Ananta tidak akan mau melakukannya. Toh, uang bersifat sementara, pahala bersifat selamanya. Iya, selama kamu membantu dengan sepenuh hati, rela serta ikhlas, pahala yang didapat mungkin berkali-kali lipat melebihi ekspektasi.

"Saya akan mencoba, ya pak, bu," ujar, Ananta.

"Bukannya saya menolak, saya juga lagi memikirkan, bagaimana cara melacak keberadaan pacar saya yang belum juga memberikan kabar sebulan ini," imbuhnya.

Ananta menundukkan kepala. Ia mendongak, mendapati orang tua korban tengah menatap nanar kepadanya. Ananta menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya. Ia merasa iba. "Ya sudah, saya bantu."

"Makasih, nak. Kami berhutang budi sama kamu!" ucap mereka, histeris. Mereka serentak memeluk Ananta, sangat erat, sebagai ucapan terima kasih telah ikut membantu.

Dalam pelukan itu, Ananta berdoa. Semoga, perjalanan mencari korban bernama RZ, kekasihnya pun juga ketemu. Kerinduan ini sangat besar melebihi kerinduan Milea pada Dilan.

Bunyi notifikasi masuk. Dilirik, ada banyak sekali email dari orang asing. Kode-kode yang entah apa maksud si pengirim. Yang paling menarik perhatian, ialah, salah satu email mengajaknya bermain bersama.

__________________________________________

Welcome to the other world!

Beinga-humanprocess@gmail.com
TO ME

Hey! I'm a human but no humanity. Wanna your girlfriend go back to home?  Let's play with me, boy!
1. EST SNAWWU AATRENGG
2. IMAB LSIDNA
3. CMATNAKE ERWA DSAE PIA

complete the questions above and get your girlfriend right now, babeヾ( ͝° ͜ʖ͡°)ノ♪

__________________________________________

(。•̀ᴗ-)✧

TO BE CONTINUED

Ada yang bisa ikut melengkapinya, gak?

Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang