Selepas berbincang dengan Franky, Alena pergi menemui Reno, Renata dan Ananta menggunakan angkutan berbasis online, untuk mendatangi lokasi. Butuh waktu tiga puluh menit, walhasil ia telah sampai tujuan. Gelagat serta raut muka Alena sudah bisa Reno rasakan. Cepat-cepat, Reno mendekap Alena, menenangkannya di sana. "Lena takut," tutur, Alena. Napasnya memburu, keringat dingin membanjiri sekujur tubuh. Iya, benar. Dia sangat takut pada semua orang di yayasan Adyiwinata. Mereka bagaikan hantu yang terus-menerus bergentayangan dalam pikirannya.
"Lena mau berhenti. Lena gak kuat terus-terusan kerja di situ. Yang ada, Lena malah makan hati, sama kelakuan mereka. Lena lelah, sama kenyataan hidup yang sekarang sementara dihadapi," Lagi, Alena bertutur mengungkapkan curahan hatinya mengenai seluruh warga yayasan Adyiwinata. Ia tidak ingin menjadi gunjingan para psikopat di sana. Sudah cukup hari-hari sebelumnya, sekarang ia mau mengundurkan diri dari sana.
"Kamu gak sayang Mami? Mama? Papa? Renata? Rara? Dan aku? Kumpul uang hasil jerih payahmu. Kalau sudah, kita bisa bangun rumah tangga. Bukankah, itu yang kamu mau Len?"
Alena tidak menjawab. Dia diam. Pikirannya kali ini benar-benar semrawut.
"Raihlah cita-cita kamu, walaupun itu menyusahkan. Karena menggapai cita-cita secara realistis itu, tidak sama dengan menggapai cita-cita dalam bunga tidur," ucap, Reno. Ia melepaskan kedua lengan yang melingkar di tubuh Alena, dan berbalik, mengambil secangkir air mineral di genggaman Renata. "Nih minum. Air mineral membantu kamu mengurangi tekanan darah meningkat. Setelah minum, masuk ke mobil istirahat di sana," perintahnya.
Alena lekas meminum air tersebut, lalu melakukan perintah Reno bersicepat ke mobil untuk istirahat. Selepasnya, mobil dengan plat hitam muncul seketika. Benar saja tebakan mereka, Ananta tampak keluar dari dalam mobil. Mengenakan blazer dengan motif kotak-kotak untuk memberikan kesan retro. Selain itu, untuk mendukung penampilan, ia membawa tas gendong berbahan kulit dan berwarna gelap.
"Gimana, Nat? Udah dapet titik terang soal bebeb lu, gak?" tanya, Renata, tanpa perlu berbasa-basi.
Ananta menyeluk saku, kemudian duduk berjuntai di salah satu bangku taman, diikuti Renata serta Reno. "Gak dapet. Tapi, gue dapet email dari orang asing."
Renata mendekat. "Apa isinya?"
"Nah itu dia. Gue datang kemari minta kalian buat mecahin teka-tekinya."
Reno mengulurkan tangan, meminta gawai Ananta. "Coba sini, mau liat isi emailnya." Langsung saja, Ananta memberikan gawainya pada Reno. Reno memfokuskan daya pikir, bersamaan dengan mencermati harapan pelaku. EST SNAWWU AATRENGG, IMAB LSIDNA, CMATNAKE ERWA DSAE PIA. Mirip permainan sewaktu muda dulu. "Ini Anagram."
Ananta dan Renata menautkan alis secara bersamaan. Tidak mengerti, apa maksud Reno. "Anagram?" tanya, Ananta.
Reno menangguk mantap. "Iyap, Anagram. Salah satu jenis permainan kata yang huruf-huruf di kata awal, biasanya diacak untuk membentuk kata lain atau sebuah kalimat. Contohnya, kayak isi email ini, nih."
"Gue ngerti sekarang!" Renata memekau kegirangan. "Pernyataan kedua , Bima Island, right?" Renata menoleh kanan-kiri, menunggu jawaban yang dipertanyakannya.
Sekali lagi, Reno mengangguk.
"Kita punya kesempatan besar buat jawab pernyataan satu, sama tiga," kata Ananta, bahagia.
Lagi, lagi, dan lagi, Reno mengangguk. "Buka hp kalian, kita cari tahu informasi tentang pulau Bima. Kemungkinan besar, pernyataan satu sama tiga berkaitan dengan pernyataan dua," simpul, Reno.
Refleks, Ananta, Renata, beserta Reno mencari informasi lebih lanjut mengenai pulau Bima melalui alat elektronik masing-masing. Alena yang berada di dalam mobil hanya menarik napas sesak, melihat ambisi di diri mereka. Berbanding terbalik dengannya. Jika sudah tak mampu untuk berambisi lagi, mau tak mau harus dihentikkan. Ya, Alena memang mudah berputus asa. Seketika, sesuatu menabrak kaca depan mobil. Alena memicingkan mata, rupanya pesawat kertas. Menarik mata untuk dikoleksi, lantaran warna kertas yang terlanjur berwarna gelap. Ia segera menurunkan kaca mobil, mengambil kemoceng, mencoba menggapai pesawat kertas tersebut. "Yes, dapet!" girangnya.
Alena menaikkan kaca mobil kembali. Memutar-mutar sisi pesawat kertas itu. Satu kata, unik. Seumur-umur Alena belum pernah melihat kertas berwarna abu-abu. "Buka sisi ini, untuk mendapatkan jawabannya," gumam Alena, bingung. Tetapi, tetap saja ia mengikuti instruksi di sana. Membuka bagian sayap pesawat kertas.
"Sampai jumpa di Nusa Tenggara Barat, Kecamatan Wera Desa Pai, ya. Ingat. Tubuhmu, milikku juga."
Alena melongo tak percaya. Tubuhmu, milikku, maksudnya apa? Dia tak mengerti sama sekali. Mendadak, seluruh tubuh gemetar. Pandangannya pun lebih intens dan waswas. Suara demi suara gebrakan, memecah keheningannya dalam mobil. "AAAAAA!" jerit, Alena. Manusia bertopeng muncul di sebelah Alena, balik jendela mobil. Ia melompat ke arah jok belakang, membuka dan keluar dari pintu mobil bagian sana. Persetan, jika sekarang ia hanya memakai kaus kaki, rambut kocar-kacir.
Reno, Renata, dan Ananta serta-merta berdiri lantang, mendengar jeritan seorang wanita. Mereka mencari, siapa pemilik suara itu. Jangan sampai, bila terjadi pada Alena. "Alena!" Reno berlari mendatangi mobilnya, mencari Alena. Nihil. Tidak ada. Jantungnya berdegup kencang. "Alena? Alena?" Panggilnya.
"Alenanya ada gak, Kak?" tanya Renata, khawatir.
Reno menggeleng.
Mereka berpencar, melacak eksistensi Alena. Ananta bagian Timur, Renata bagian Barat, dan Reno bagian Utara. Seruan-seruan ketiganya memanggil nama Alena, belum juga dimunculkan.
"Kamu dimana, Yang?" Gumam, Reno. sesekali, ia mengacak rambut frustrasi. LDR karena pendidikan memang sudah biasa, tapi, perihal kehilangan jejak seperti ini, ia belum terbiasa. Walaupun sudah dirasakan semasa menempuh pendidikan dahulu, namun tetap saja, Reno akan merasa sangat kehilangan.
"Gue gak ketemu, Ren," ujar, Ananta.
"Sama, Kak."
Reno menutup wajahnya, dengan kesal. Dia merasa, kalau ia tak berbakat mengurus pasangan. Contohnya, sekarang. Alena hilang. Renata melihat itu, langsung kasihan. Bukan itu saja, Alena jua sahabatnya sewaktu kecil, pasti Renata akan sangat kehilangan mahluk mungil nan cantik. "Eh tapi gue dapet ini." Ananta menunjukkan kertas kusut berwarna abu-abu, dengan tulisan putih. Tak ada yang menggubris. Tak ada yang melihat apa yang ditunjukkan Ananta. Terpaksa, Ananta membaca isi kertas. "Sampai jumpa di Nusa Tenggara Barat, Kecamatan Wera Desa Pai, ya. Ingat. Tubuhmu, milikku juga." Sebisa mungkin, Ananta meniru dialek para penjahat-pejahat ternama.
Berulang lagi, Reno dan Renata fokus pada pikiran masing-masing. "Hey! Gue bukan kulit kacang, yang kalian biarin gitu aja," ujar Ananta, gemas.
"Lu bisa nyari lewat google map, kalo Alenanya gak ketemu," lanjut, Ananta.
"Thanks, Nata." Reno merogoh kantong celana, mengambil gawainya. Kemudian, ia mencari aplikasi bernama google map, dan membukanya. Beruntung, email Reno serta Alena berada di gawai yang sama, maka dari itu, google map dengan mudah mencari lokasi pemilik email yang sama pun. "Aktif semenit lalu," ucap Reno, serak.
(-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapakah Orang Selanjutnya? [SELESAI]
Mystery / ThrillerDILARANG KERAS UNTUK MEMPLAGIASI CERITA INI, BAIK MENGGANTI NAMA, DAN SEBAGAINYA. KETAHUAN PLAGIAT!? AKAN DITINDAK LANJUTI! °°° [Seri pertama, dalam Horror/Mystery story] Seluruh penduduk SMA Adyiwinata sama sekali tak menyangka, ada kasus pembunuh...