Namaku Ifah, Muzdalifah Putri Zainuddien. Umurku 16 tahun, dan cita-citaku ingin menjadi orang yang paling bahagia di dunia.
Sama dengan anak perempuan pada umumnya, aku juga bisa merasakan sedih, bingung, kecewa, dan bahagia. Tapi, aku merasa kesedihan yang Tuhan berikan kepadaku terlalu berlebihan. Bagaimana tidak, baru sebentar merasakan kebahagiaan, kesedihan itu datang lagi.
Dan hal itu membuatku beranggapan bahwa hidupku tidak sama dengan anak perempuan yang lain. Kebahagiaan sulit sekali untuk diraih. Sedangkan kesedihan, tidak usah dicari bahkan dia datang dengan sendirinya.
Sering bolos, berkelahi, sampai bertengkar dengan guru, itu merupakan kegiatan sehari-hariku di sekolah. Teguran demi teguran keluar masuk ditelinga, surat-menyurat yang diberikan guru sudah menumpuk bak gunung. Entah surat-surat apa itu. Yang jelas dibagian depan surat tertera tulisan "Surat Panggilan Orang Tua."
Dan hal itu juga yang membuatku sudah dua kali diberhentikan dari sekolah. Aku senang. Yaa, aku senang karena bisa meluapkan kekesalanku dihadapan guru. Tidak seperti murid yang lain, selalu saja menuruti perintah sang guru. Ntah itu benar atau salah selalu saja dituruti.
Ahmed Zainuddien, dia ayahku. Aku beruntung memilikinya. Ayah yang selalu mengerti akan keadaanku, selalu memberi support, sekaligus menjadi tempat bersandar ketika aku sedih.
Setahun yang lalu adikku meninggal. Dia mengidap penyakit kronis. Penyakit yang tidak sembuh-sembuh hingga menghembuskan nafas terakhir.
Setelah sebelas bulan meninggalnya Tofa, ibu juga dipanggil oleh Sang Ilahi. Ibu mengalami kecelakaan ketika pergi ke kantor tempatnya bekerja.
Hal itu membuat kesedihan yang sangat mendalam bagi diriku. Bagaimana tidak, dalam waktu setahun Tuhan mengambil dua orang terpenting dalam hidupku. Sangat tidak diduga.
Ayah di pindahtugaskan kerja oleh atasannya ke Banjarmasin, dan mau tidak mau aku juga harus ikut. Sudah seminggu kami tinggal di kota ini setelah sebelumnya tinggal di Jakarta.
Jarum pendek jam sudah mengarah ke angka sepuluh, dan ayah 'tak kunjung pulang sedari pagi. Aku masih saja berkutat pada buku sambil membaringkan diri di atas kasur, ditemani dengan suara baling-baling kipas angin yang tergantung di plafon kamar.
Tidak lama kemudian, aku mendengar suara hentakan demi hentakan kaki diatas lantai. Aku masih fokus pada buku yang kupandang.
Sebagai anak perempuan yang ditinggal sendirian di rumah, rasa takut itu pasti ada. Ya, aku takut.
Suara hentakan kaki itu semakin dekat. Kemudian kulihat knop pintu kamarku bergerak kebawah.
CLEEETAAKKK
Aku lupa mengunci pintu kamar. Pandanganku terfokus pada makhluk dengan tubuh separuh masuk ke kamar.
Dan pada saat itu juga sesegera mungkin kututupi seluruh tubuhku dengan selimut. Seletika tubuhku menjadi panas, keringat dingin perlahan membasahi kening hingga pelipis mata. Aku masih diam.
"Ifah?" panggil orang itu.
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
Komentar Anda, semangat saya.