Happy reading..Lama termenung, tidak ada kegiatan lain yang kulakukan selain memperhatikan saja kipas angin yang perputar dengan ligat.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan setengah malam. Benar-benar tidak ada yang mengetuk pintu kamarku, dan kantuk yang datang membuatku memejamkan mata.
"Harusnya hidup itu manis
dengan segala nikmat dan cobaannya
walau kecenderungan hati
sering berpihak pada fatamorgana."Dan kemudian paginya aku terbagun jam sembilan, membuat aku terpelonjak kaget. Padahal hari ini aku ingin sekali sekolah. Bukan untuk belajar di sana, tapi untuk kembali mengecek tulisan Ubai yang biasanya ada di mading sekolah.
"Jam weker sialan!" omelku sendiri.
Aku membuka tirai jendela kamar,berdiri tegak menutup mata, dan menghirup udara segar perlahan. Sinar matahari yang masuk melewati jendela juga berhasil menutupi seluruh mukaku.
Suara bising teriakan Budi berhasil membuyarkan keheningan, aku kangsung mencari darimana arah sumber suara itu.
"KAK FAH," panggil teriak Budi yang berdiri main di pekarangan rumah.
Aku menutup bagian atas mataku layaknya sedang hormat menggunakan tangan kanan. Karena dengan begitu, sedikit melindungi sinar matahari yang bersinar hangat menyilaukan mata.
"Kak Fah, iiiii nggak cekolah," kata Budi lagi, kemudian ia berlari mendekati bi Sirah yang tengah sibuk menyirami tanaman.
Bi sirah yang terkejut oleh kedatangan Budi, lantas lansung mengarahkan semprotan ke arahnya. Membuat Budi basah kuyup, dan merengek kecil.
"Astagfirullah Ya Allah," ngucap bi Sirah setelah mengetahui bahwa yang di semprotnya adalah anaknya sendiri. "Mamak kaget," tambah bi Sirah sembari mengelap-elap badan Budi dengan baju daster yang di kenakannya.
Aku menahan tawa, memperhatikan kelakuan orang dua beranak itu.
Budi menggerutu, dan mengencangkan rengekannya ditambah dengan memukul-mukul badan bi Sirah.
Aku tidak bisa menahan tawa lagi, dan tawa itupun pecah, membuat bi Sirah dan Budi refleks menatapku.
Aku tersenyum cengiran.
Menit selanjutnya, aku keluar dari kamar, dan langsung menuju ke kamar mandi.
Sarapan pagi sudah terhidang di meja makan. Handuk bekas selesai mandi aku letakkan di sandaran kursi meja makan, aku langsung saja duduk dan menyantap makanan tidak sabaran.
Ketika makanan di piring sudah hampir habis, Budi masuk ke dalam rumah. Ia tidak memakai baju dan hanya memakai celana pendek, badannya masih terlihat basah terkena siraman bi Sirah tadi.
Ia menatapku tajam, jalannya seperti orang yang tergesa-gesa.
Lagi-lagi aku menahan tawa di buatnya.
"Baju Budi mana?" tanyaku sambil menahan tawa.
Budi tidak menjawab, ia malah duduk di kursi meja makan dalam ke adaan celana dan badan yang basah.