Happy reading.."Budi mana, Bi?" tanyaku heran tidak melihat Budi di meja makan.
"Masih tidur dia, Non," balas Bibi.
"Biar Ifah bangunin," kataku langsung.Aku kembali meninggalkan meja makan untuk membangunkan Budi, padahal sendok dan garpu sudah ada di genggaman tanganku.
Aku tidak mau, membiarkan orang yang ada di dalam rumah ini tidak makan. Semuanya harus makan secara bersamaan, kecuali berhalangan seperti Ayah dan Om Joko. Dua sejoli yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.
"Budi, bangun udah malam," ujarku membangunkan Budi.
Budi terjaga dari tidurnya, lalu melemparkan pandangannya langsung ke arahku.
"Udah ciang, Kak. Bukan malam," ujar Budi datar dengan badan yang masih terbaring di atas kasur.
"Malam," belaku.
"Ciang," tidak mau kalah Budi.Detik selanjutnya, Budi bangkit dari kasur.
"Budi kemana?" Tanyaku kepada Budi.
Budi berlari menuju pintu luar, tidak tahu mau kemana. Aku mengekorinya.
"Tuh, 'kan, ciang," kata Budi lagi setelah berada di luar rumah. Kepalanya ia dongakkan ke atas, melihat matahari yang bersinar terang.
Aku menahan tawa, kakiku kuurungkan melangkah mendekati Budi, dan memilih diam saja di muka pintu menyaksikan kejadian pagi ini.
---•---
"Kak, intak cambal," ujar Budi dengan mulut yang dipenuhi dengan makanan.
"Boleh, ya, Bi?" tanyaku memastikan
"Kasih aja, Fah. Biar dia tau rasanya cabe," ucap Bibi yang berada di samping kananku.Aku mengautkan sesendol sambal ke piring Budi.
"Nasinya nambah nggak?" tanyaku kepada Budi.
Budi mengangguk, "ikit aja," kata Budi kemudian.
"Tambah juga nasi Bibi, jangan malu, Bi," suruhku.
"Iya, Non. Bibi kenyang," kata Bibi.AAaaaahuuuuaaaa
Budi membuka mulutnya lebar, matanya sedikit memerah dan mengeluarkan air mata.
"Ha, 'kan, pedas!" jerit Bibi.
"Minum dulu," seruku sembari memberikan segelas air putih kepada Budi.
"Das, Mak. Edas," raung Budi dengan suara khasnya.
"Bi, ambil gula, Bi," kataku cepat.Bibi langsung saja bergerak, Budi masih merengek menikmati kesialannya.
Budi meminum segelas air putih yang aku berikan. Tidak habis diminumnya, kemudian ia merengek lagi.
"Ini, buka mulut, cepat," perintah Bibi.
Budi membuka mulutnya lebar, menuruti perintah Ibunya.
Rengekan tidak terdengar lagi, Budi mengunyah-ngunyah sesendok gula yang dimasukkan Bibi ke dalam mulutnya pelan.
Matanya masih memerah, aku menahan tawa.
"Enak, nggak?" Tanyaku kepada Budi.
"Manis, kak," jujur Budi.
"Mau sambal lagi?" Tanyaku bercanda.Budi diam, nampak jelas dari binar matanya, ia sangat trauma akan pedasnya sambal.
Aku menahan tawa, demikian Bibi, ia juga menahan tawa.
---•---