Happy reading..."Nggak apa-apa, nanti siang kita beli sepatu," tuturku kepada Budi.
Aku melanjutkan lari kecil, sedangkan Budi mengekori terus dari belakang.
Embun yang berasal entah darimana asalnya, berhasil membuat badan jalan sekiran kompleks menjadi agak basah. Udara segar yang aku hirup juga berhasil menghilangkan sedikit keluh-kesah di dalam diriku untuk saat ini.
Sesekali aku menoleh kebelakang, melihat Budi kalau saja ia tertinggal jauh.
"Cepat, ye, Budi lamban," ujarku membuatnya mempercepat langkah hingga berhasil bersampingan denganku.
"Kak, Udi penat," kata Budi, kemudian ia langsung duduk di bahu jalan.Aku memberhentikan gerakanku, dan berjongkok menghadap Budi yang tengah duduk mengatur napas.
"Yaudah, istirahat dulu," balasku ikut duduk juga di bahu jalan dekat dengan Budi.
Aku juga ikut mengatur napas.
Detik selanjutnya mataku terpaku memperhatikan matahari yang perlahan keluar dari tempat peraduannya. Sedikit demi sedikit cahaya sinar pagi muncul, aku terkagum-kagum melihatnya.
Dari arah berlawanan dengan arah matahari muncul, ada seorang lelaki berlari santai, peluh sehat bercucuran keluar membasahi muka hingga lehernya, aku terus saja memperhatikan.
Blruuuuukk
Aku langsung mencari dimana sumber suara itu, ternyata itu adalah suara badan Budi yang terbentur ke tanah di pinggir jalan.
Matanya masih mencelang, melihatku dengan cengiran khas si Budi.
"Ngapain rebahan di situ?" tanyaku kaget.
"Udi antuk, kak," jelasnya.
"Yok, pulang aja," ajakku.Lelaki yang berlari santai tadi datang menghampiriku, ia berdiri tepat di depan kami duduk.
"Nama gue Rian," katanya sambil mengukurkan tangan. "Gue rau, lo dari tadi liatin gue lari," tambahnya langsung membuatku kaget.
Aku memperlihatkan ekspresi biasa saja, seolah tidak gugup mendengar ucapannya barusan.
Ketika ingin menjabat tangannya, Budi bangkit, dan langsung menjabat tangan lelaki itu, mendahuluiku.
"Udi," ucap Budi.
"Budi namanya," sahutku langsung memotong ucapan Budi.Budi melepaskan jabatan tangannya, kemudian melihat kearahku cengiran.
Kemudian Rian lagi-lagi menyodorkan tangannya kearahku, dan mengulang kembali perkataannya.
"Nama gue Rian, nama lo siapa?" tanya Rian lagi.
"Namaku Muzdalifah, you can call me, Ifah," kataku memperkenalkan diri, genggaman tangannya langsung aku lepaskan.Budi berdiri dari tempat duduknya, sedangkan aku masih duduk di bahu jalan.
"Yok pulang," ajak Budi.
"Iya-iya," ujarku langsung berdiri.Rian masih saja memperhatikan, aku memasang muka datar seolah tidak peduli akan keberadaannya.
Ketika kami sudah sekitar dua belas langkah meninggalkannya, Rian berkata lagi.
"Gue baru pindah dari Jakarta, gue tinggal di sekitaran kompleks ini, dan gue nggak ada temen selain lo di sini," papar Rian dengan suara yang sedikit kencang.
Aku menoleh kearahnya, dan menghentikan langkahku sebentar.
"OH, YAUDAH!" jawabku berteriak.
Detik selanjutnya aku melanjutkan langkah kembali.