MISI RAHASIA

68 9 0
                                    

Jangan lupa bahagia!




Adan saat ini sedang mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Ia mendapat perintah dari Ubai untuk menghantarkanku pulang, dan ia hanya mengangguk menyetujui.

Aku menikmati perjalanan pulang malam ini. Mataku liar melihat ke sana-sini ramainya lalu-lalang  kendaraan di jalan. Namun ramainya lalu-lalang kendaraan malam ini tidak membuat jalanan menjadi macet seperti di Jakarta.

"Dan," panggilku.

"Iya, Fah."

"Ubai tadi mau pergi ke mana? Keliatannya dia tadi buru-buru gitu," tanyaku penasaran.

"Ubai mau ke kedai. Ubai dapat kabar dari warga sekitar kedai, kalo kedai kami dirampok," urai Adansyah.

"Hah? Ucup, Malik, mereka ikut juga?"

"Iya, Udien, Tono, sama Daniel juga ikut ngecek di sana. Semuanya pergi ke sana," jelas Adan.

"Eh, aku mau ikut juga, boleh?"

"Jangan, Fah. Ubai nggak ngebolehin."

Tiba-tiba saja saat ini aku memikirkan kedai teman-temanku itu. Pasalnya, hanya kedai itulah tempat mereka mencari uang selama di perantauan.

"Dan, aku mau ikut. Boleh, ya? Ya, ya, ya?" tawarku lagi.

"Jangan, Fah. Bahaya kalo cewek juga ikut. Ubai merintah aku ngantar kau pulang, supaya kau tidak ikut," papar Adansyah jujur.

Detik selanjutnya, setelah Adansyah menyampaikan penolakan itu, ia melajukan kecepatan motornya.

Sekarang aku dan Adan sudah berada di depan gerbang rumahku. Sekitar sepuluh menit saja waktu yang diperlukan Adan untuk menghantar aku pulang.

"Kau setelah ini mau ke mana, Dan?"

"Ke kedai," jawab Adansyah.

"Kabarin aku, ya, Dan, kalo kau udah sampai kabarin aku," kataku berulang-ulang.

"Iya, Fah. Tapi kalo inget, aku pelupa soalnya," ujar Adan yang mulai memajukan motornya untuk pergi ke kedai.

"HARUS INGET!" teriakku yang semoga masih didengar Adan.

Aku memandang ke arah rumah sebentar, kemudian mulai melangkahkan kaki menuju masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, Bibi masih menonton TV bersama Budi yang berpangku duduk di paha Bibi Sirah.

"Bibi, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, baru pulang?" tanya Bibi langsung.

"Iya, Bi."

"Sudah makan?" tanya Bibi, "makan dulu, yok! Non Ifah pasti lapar," sambung Bibi.

Aku tersenyum setelah mendengar kalimat yang ke luar dari mulut Bi Sirah, aku sangat beruntung memiliki pembantu seperti Bi Sirah, ia sangat perhatian ke padaku. kemudian aku ikut duduk di sofa dekat di samping kanan Bi Sirah duduk.

"Ifah masih kenyang, Bi," ucapku tersenyum ramah, "Bibi udah makan?" tanyaku.

"Sudah, Fah. Bibi sudah makan, Budi juga. Kami tadi sudah lama nungguin Non Ifah pulang, ya... karena Budi udah nggak tahan pengen makan, kami makan duluan jadinya," curhat Bibi Sirah.

Aku terkekeh pelan sebentar, kemudian menjawab curhatan Bibi itu, "nggak apa-apa, Bi," balasku lalu tersenyum.

Detik selanjutnya, aku dan Bibi saling bertatapan muka lalu. Aku tersenyum simpul, sesangkan Bibi tertawa kecil.

"Bi," panggilku lagi, "Bibi masih ingat misi kita besok, 'kan?" tanyaku mengingatkan Bibi.

Bibi melihat ke arahku, "ingat, santai aja, Non," ucap Bibi dengan bangganya karena masih ingat.

Aku menatap Bibi sambil tersenyum, "makasih, ya, Bi," ucapku.

"Iya, Non Ifah."

"Jangan sampai ada yang salah, ya, Bi. Kalo ketauan bohong, Ifah bisa-bisa dimarahi Ayah lagi," terangku ke pada Bibi.

"Hah?" kaget Bibi.

Budi yang tengah berada di pangkuan Bibi hampir terjatuh ke lantai ubin yang dingin itu. Pasalnya Bi Sirah bergerak hendak berdiri sebab kaget.

"Mamak," rengek Budi.

"Udah-udah, diam," nasehat Bibi Sirah ke pada anaknya.

Detik selanjutnya Bi Sirah mempersilakan Budi duduk di pangkuannya lagi.

"Emang Ayahnya Non Ifah pernah marah sama Non Ifah?" tanya Bibi karena penasaran dengan uraianku tadi.

"Pernah, sih. Tapi udah lama. Ifah juga udah lupa waktu itu Ifah umur berapa," paparku sambil mengingat-ngingat pristiwa itu.

"Oh, jangan diingat lagi, Non. Yang lalu biarlah berlalu, jangan diusik juga jangan diingat lagi pristiwa itu," nasihat Bibi ke padaku.

"Tumben Bibi bijak, biasanya juga sala nyerocos aja. Huh!" ucapku dalam hati.

"Iya, Bi," balasku tersenyum.

"Non Ifah tenang aja. Bibi bisa pastikan, semua misi rahasia kita akan berjalan dengan lancar selama tiga hari ke depan," ungkap Bibi dengan semangat.

Aku tersenyum bangga ke pada Bibi, lalu aku berdiri dari tempatku duduk dan mengangkat tangan kiriku ke dekat alis layaknya seperti sedang hormat bendera, "misi rahasia siap dilaksanakan," ucapku.

"Misi rahasia siap dilaksanakan," Bibi mengulang kalimat yang aku ucapkan, ia juga mengangkat tangan kanannya sama sepertiku. Seperti sedang hormat bendera pada hari senin.

Detik selanjutnya, aku dan Bibi tertawa. Lebih tepatnya, menertawai kelakuan konyol yang kami perbuat.

Budi yang sedari tadi duduk di pangkuan Bi Sirah, ia tidak banyak ikut campur. Budi hanya sesekali melihat ke arah kami yang sedang berbual lalu melihat TV lagi.

"Ah, sebaiknya anak kecil memang tidak boleh ikut campur dalam misi rahasia ini," pikirku dalam hati.

Aku menurunkan tanganku, setelah sebelumnya melihat Bibi lebih dulu menurunkan tangan kanannya yang juga hormat.

"Bi, Ifah ngantuk, Ifah ke kamar duluan, ya."

"Iya, Non," kata Bibi, "good bengi, non Ifah," sambung Bibi.

Aku tersenyum, tanda responku terhadap kalimat yang baru saja Bibi Sirah ucapkan.

Kemudian aku mulai berjalan menuju kamarku.


Geser ke bawah!

Calon Laki Anti Mainstream [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang