DISKORS SEPULUH HARI

107 13 0
                                    

Happy reading..

"Fah, kita disuruh ke ruang guru," ucap Tika sambil menggoyang-goyangkan badanku.

"FAH!"
"IFAH!" Tetiaknya semakin kuat.
"WOI, FAH! BANGUN, FAH!"

Dengan badan yang lesu, aku mengumpulkan segenap tenaga untuk membalas cakap Tika.

"Aku mau tidur, woi! Tidur," jawabku sekenanya.

Tika lagi-lagi menggoyangkan badanku, kali ini agak kuat.

"Lo kemarin ngasih nama di lembar jawaban gue pake nama lo, ya?" tanya Tika.
"Iya," jawabku.
"Aduh, Fah." Serah Tika.
"Apa, sih," ketusku.

Aku melipat kedua tangan di atas meja, dan merebahkan kepala kembali di antaranya.

BRAAKK

Tika menarik kursi tempatku duduk, membuat aku terhentak duduk di atas lantai keramik kelas.

"Mau kau apa?" Tanyaku penuh emosi.

Pinggul dibuat sengal bukan kepalang, aku menyumpah dibuatnya.
"Lo ngasih nama lo di lembar jawaban gue kemarin, dan tadi bu Ina menyuruh kita ke ruangannya!" Papar Tika bernada tinggi.

Aku kaget mendengarnya, rasa sakit di pinggul tidak kupedulikan lagi.

"Aku lupa, sorry," kataku.

Dengan segenap tenaga yang belum terkumpul penuh, aku berusaha berdiri.

Teman yang ada di dalam kelas tidak banyak bunyi, mereka terheran-heran menyimak percakapan kami berdua.

"Cepat!" Ujar Tika sambil mengulurkan tangannya.

Aku menggubrisnya.

Di dalam kantor, para majelis guru sibuk di mejanya masing-masing. Ada yang tengah mengotak-atik komputer, merapikan buku, dan juga ada yang sedang bermain handphone.

"Masuk," suruh seorang guru perempuan yang baru masuk ke kantor.
"I-iya, bu," jawab kami serempak.

Aku dan Tika mengikuti guru itu di belakang.

"Tika, Ifah, sini!"

Aku langsung mencari di mana sumber suara itu.

"Tika, ke sini," ucapku kepada Tika pelan.

Tika menuruti.

Ketika aku dan Tika sudah sampai di depan meja guru perempuan yang memberi ulangan kemarin, aku dan Tika menunduk.

BRAKKKKKK

Satu pukulan mendarat kasar di atas meja, aku tidak berani melihatnya.

Aku menebak, guru itu memukul meja menggunakan kayu. Kalau bukan dengan kayu, tidak mungkin suaranya sekuat itu.

"Lihat ke depan!" Perintah bu Ani.
"I-iya, bu" jawab Tika tergagap-gagap.

PEKKKK

Aku menahan sakit. Setelah rasa sakit di bagian pinggul, kini sakit baru lagi datang. Kali ini di nagian bahu kiriku.

Amarah memuncak, ingin aku menerjang meja yang ada di depanku ini. Tapi, pesan yang ayah diucapkan ayah tiba-tiba saja terngiang di kepalaku.

"Lihat ke depan!" Perintah bu Ani bernada tinggi.

Dengan wajah yang tidak senang, aku menatapnya garang.

Bu Ani mengambil dua lembar kertas dari laci meja, dan menghempaskannya di atas meja.

"Hebat, hebat kamu, Fah," ucap bu Ani bernada sinis.

Aku diam, Tika diam.

"Kamu itu siswi baru, sudah bikin macam ini!" Papar bu Ani sembari memukul-mukul kertas lembar jawaban.

Calon Laki Anti Mainstream [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang