Diam-diam Arthit mengintip seseorang dari kejauhan lewat cela kaca menuju balkon kamarnya, di lihatnya Kongpob yang tengah duduk termenung sendirian pada halaman belakang rumah mereka, sembari menatap langit. Entah apa yang tengah pasti pria itu lakukan, Arthit tidak tahu.
Saat Kongpob menatap ke arahnya, dengan sigap Arthit menyembunyikan diri di balik tirai yang menutupi pintu kaca itu. Tidak ingin Kongpob tahu jika Arthit tengah memperhatikannya kini. Pikiran Arthit mengelana pada apa yang terjadi tadi sebelum mereka memutuskan untuk pulang ke rumah selesai makan malam bersama.
Arthit tahu Kongpob terlihat kecewa dengan jawaban yang keluar dari mulutnya, tetapi Arthit tidak bisa menghentikan dirinya sendiri, bukan salahnya jika menjadi seperti ini, Kongpob yang memulai segalanya lebih dulu pada Arthit, hingga membuat Arthit merasa lelah bahkan kecewa.
Perasaan kecewa itu tidak bisa di hapus begitu saja dengan mudahnya, sampai-sampai Arthit tidak perduli lagi pada Kongpob, tentang pria itu dan segalanya. Semuanya terasa sia-sia, bukankah sudah terlambat jika Kongpob baru menyadarinya sekarang, saat Arthit sudah merasa jika dia berhenti untuk berpikir bersama dengan sang kakak lagi. Arthit sudah berhenti berharap pada Kongpob, dan mencoba melupakan semuanya, hidup menjadi seperti ini saja, melupakan masa lalu yang hanya memberikannya rasa sakit itu.
Helaan nafas berat keluar darinya, sembari mendudukan dirinya pada lantai, seraya menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang tertutup dengan rapat itu. Mungkin dulu ini yang Arthit inginkan bersama dengan Kongpob seperti dulu lagi, tetapi semakin lama waktu berjalan, Arthit merasa hidupnya tidak ada artinya jika hanya terfokus pada satu orang saja. Apalagi ketika sadar Kongpob punya hidup baru tanpanya, kenapa pria itu harus memikirkan dirinya lagi, dan sekarang Arthit merasa seperti tokoh antagonis pada sebuah drama, menyakiti sang protagonis tanpa memikirkan perasaannya, tetapi adakah satu orang saja yang mengerti perasaannya? Apa ada yang bisa melihat hal ini lewat sudut pandang Arthit? Tidak ada, dari dulu sampai sekarang Arthit hanya akan sendiri, dan akan terus seperti itu.
Di sentuhnya sesuatu yang melingkar pada lehernya, menggenggamnya membuat Arthit mengingat sesuatu hal, dan entah mengapa pria manis itu seperti merindukan saat-saat mereka bersama lagi, walaupun hanya sedikit tetapi rasa itu tidak sepenuhnya hilang dari dalam diri Arthit.
Arthit harus apa?
Tetap seperti ini terus atau memilih untuk memperbaiki segalanya dari awal lagi, walaupun hatinya masih terlalu rapuh untuk menentukan pilihan.
.
.
.
Hari Minggu adalah satu-satunya hari yang paling Arthit suka, tentu saja karena dirinya bisa bersantai tanpa adanya pekerjaan yang membebani otaknya. Selama hampir satu Minggu penuh pikiran dan waktunya di peras untuk membantu Kongpob, sekarang pria manis itu bisa bebas.
Ketika sesuatu hal terbersit di dalam ingatan Arthit, pria manis itu langsung menatap ke arah jam yang terpasang manis pada dinding kamarnya, seulas senyuman terkulum di bibir tipis pria manis itu, sebelum pandangannya beralih ke arah pintu kaca yang terbuka lebar itu, membuat cahaya matahari yang cukup menyengat itu masuk ke dalam kamarnya.
Apa yang di lakukan oleh Kongpob hari ini, Arthit tidak tahu, tadi setelah sarapan Arthit sama sekali tidak melihat penampakan pria itu lagi, mungkin karena ini hari Minggu.
Haruskah Arthit mengajaknya pergi?
Karena sebenarnya Arthit ingin pergi ke suatu tempat, dan entah kenapa Kongpob yang terbayang di dalam benak Arthit untuk ikut, sedikit saja Arthit ingin memberikan Kongpob kesempatan, meskipun tidak banyak karena Arthit takut kecewa lagi disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[27]. ETHEREAL : Unforgettable
Fanfiction[ completed ] Ketika kedua kakak beradik yang sudah terpisah sangat lama bertemu kembali ketika mereka dewasa. apakah sang kakak masih bisa mengenali sang adik yang masih mengharapkannya? Warning ! Cerita ini mengandung unsur Yaoi / Boyslove / Boyx...