Vier (Bimbang)

57 2 1
                                    

Willem : Let maar niet op mij, zorg gewoon voor Papa daar...
(Jangan pedulikan aku, urus saja Papa disana...)
Alex : Hahaha! Je bent niet veranderd! jij bent mijn jongere broer! Oké, Doei!
(Hahaha! Kamu memang tidak berubah! kamu memang adik laki-lakiku! Oke, sampai jumpa!)

Willem menutup teleponnya dengan rasa sakit di kepalanya.

Sharon : Itu Kakakmu, Will?
Willem : Iyaa... Uhh, kepalaku sakit sekali...
Sharon : Apa kau mau ku antar ke unit kesehatan?
Willem : Gak perlu, aku gak apa-apa, Ron...
Kania : Itu Kak Alex, Will?
Willem : Iyaa, tadi Kak Alex membicarakan tentang Papa...
Astra : Kalau boleh tau, apa yang dia ceritakan, Will?
Kania : Jangan begitu, As! Kau tau masalah yang dihadapi Willem begitu berat!
Willem : Jangan marah padanya, Kan... Aku gak apa-apa kok! Hmm... Jadi Kak Alex sudah tau kenapa Papa gak pernah pulang... Saat ini, Papa ada di Ziekenhuis, Papa menderita komplikasi...
Sharon : Aku turut sedih mendengarnya, Will...
Willem : Gak perlu sedih kok! Aku gak apa-apa, Ron! Lebih baik kita kembali ke kelas yuk, supaya gak telat...
Kania : Kamu hebat, Will! Aku kagum sekali padamu!
Willem : Jangan terlalu menyanjungku, Kan! Aku kuat karena aku gak boleh membuat Mama semakin terpuruk!

Mereka kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya seperti biasa, kelas dilalui dengan aktif oleh Willem, guru-guru sudah mengetahui kalau Willem sangat berpotensi di sekolah, salah seorang guru menawarinya untuk membawa nama sekolah sebagai peserta Olimpiade Sains antar sekolah, tapi karena ia harus menjaga Mamanya, ia meminta waktu untuk mempertimbangkannya. Bel pulang berbunyi nyaring dari speaker, seperti biasa, Willem membereskan buku-bukunya, kali ini buku yang dia bawa bukan hanya buku sekolah, tapi ada sebuah buku berwarna putih dengan tali tambang kecil yang mengikatnya, di depan buku itu tertulis nama "Willem Van Derkann", Sharon begitu penasaran, apa yang ada dalam buku itu, akhirnya Sharon mendekati Willem, lalu menanyakan buku putih itu.

Sharon : Will, buku putih ini cantik sekali! Ini punyamu? Aku gak tau kamu punya buku seperti ini...
Willem : Itu buku catatanku sehari-hari...
Sharon : Seperti sebuah diary?
Willem : Mungkin iyaa...
Sharon : Boleh aku membacanya?
Willem : Jangan, Ron... Aku malu...
Sharon : Ayolah, Will... Ku mohon... Kan kamu sudah jadi milikku... Aku ingin membacanya yaa?
Willem : Hmm... Jangan...
Sharon : Ayolah! Izinkan yaa!? (mengambil buku itu)
Willem : Sharon... Jangan... (mencoba merebutnya)
Sharon : Ku mohon... Willem... Izinkan yaa? (memelas)
Willem : Baiklah... Baiklah... Bacalah... Tapi jangan menertawakanku yaa... (pipinya memerah)
Sharon : Asyik! Baiklah, aku akan mulai membaca!

Lembar demi lembar, Sharon membacanya dengan senyum kecil, namun ada satu halaman yang membuat senyumnya hilang.

______________________________________
Dinsdag, 18 Augustus, 2009

Hari ini, hari ulang tahunku yang ke 4 kali, di Indonesië, kampung halaman Mama... Aku merasa sangat senang! Aku gak sabar mendapat kue Vanilla yang selalu Mama buat di hari ulang tahunku... Dan juga hadiah yang selalu diikatkan bunga Roos di bungkusnya oleh Mama! Tapi ternyata Mama malah gak mengenaliku... Mama terus memanggilku dengan nama Papa, aku sudah bilang kalau aku ini Willem, putranya... Tapi Mama malah terus memaksaku mengaku sebagai Papa, dan yang paling mengecewakan, Mama tidak memasak kue Vanilla kesukaanku, dan tidak memberikan hadiah dengan bunga Roos yang kuharapkan... Mama malah histeris ketika aku memakai lensa kontakku... Bi Emy dan Mang Atta memegangi Mama supaya tidak terlalu histeris, dan aku memutuskan untuk meminta tolong pada Bi Emy dan Mang Atta untuk membantuku membawa Mama ke Ziekenhuis... Aku tanya pada dokter, kenapa Mama terus memanggilku dengan nama Papa? Apa yang terjadi pada Mama? Ternyata dokter bilang, Mama terkena Depresi karena terlalu lama tidak bertemu dengan Papa, Mama memanggilku dengan nama Papa karena aku punya warna rambut, dan iris mata yang sama dengan punya Papa, dokter mengatakan, aku harus terus memakai lensa kontakku sampai Mama sembuh, karena selama ia belum sembuh, ia akan terus membayangkanku sebagai Papa. Setelah itu, aku gak tau harus berbuat apa... Aku hanya bisa menunggu Kak Alex untuk pergi ke Nederland dan mengirim Papa ke Indonesië untuk menghabiskan hari tuanya di Indonesië, Tuhan... Jika Papa tidak datang, apakah aku gak akan bisa makan kue Vanilla kesukaanku, dan menghirup aroma sedap dari bunga Roos lagi? Kenapa Papa tidak pernah datang menemui kami? Hmm... Tolong jangan membuatku putus asa, Tuhan... Sampai kapan aku harus pakai lensa kontak seperti ini? Apakah Mama akan terus seperti orang pikun?

14
______________________________________

Seketika air mata menetes ke pipi Sharon, ia tak tahu betapa menderitanya hidup Willem selama ini.

Willem : Ron? Kenapa menangis?
Sharon : Maafkan aku! Aku mengaku sebagai orang yang paling dekat denganmu, tapi aku baru tahu perasaanmu...
Willem : Ahh... Pasti kamu membaca tulisanku di halaman 14 ya? Saat hari ulang tahunku?
Sharon : Iyaa... Kenapa kamu gak pernah cerita, betapa menderitanya dirimu?
Willem : Itu masalahku, Ron... Aku gak ingin membebani orang lain dengan masalahku... Lagipula aku sudah terbiasa sekarang... Kamu gak usah khawatir lagi, yaa?
Sharon : Aku akan selalu di sisimu, mendukungmu, menghiburmu, menyemangatimu! Kamu harus kuat yaa!
Willem : Hmm... Makasih, gadisku! Oh iya, ada yang ingin ku tanyakan...
Sharon : Apa itu? Katakanlah...
Willem : Pak Adi menawariku untuk ikut Olimpiade Sains antarsekolah, tapi aku ingin terus menjaga dan merawat Mama di rumah... Aku gak mau Mama semakin parah, kalau aku meningkatkan porsi belajarku, aku akan kekurangan waktu untuk merawat Mama, menurutmu gimana?
Sharon : Kalau kamu berminat ikut saja! Aku bisa kok membantumu merawat Mama! Aku akan datang ke rumahmu setiap hari dan menggantikanmu menjaga Mama saat kamu harus belajar! Jangan khawatir, sekarang kan aku milikmu!
Willem : Gak ah, itu akan merepotkanmu, lagipula kamu pasti akan dimarahi Mama atau Papamu kalau kamu pulang terlambat, lebih baik aku gak ikut saja... Aku gak mau membuatmu kerepotan kalau-kalau Mama tiba-tiba histeris ingin bertemu Papa, biar aku saja yang merawat Mama, Ron... Gak apa-apa kok, aku bisa mengikuti Olimpiade Sains lain kali, masih banyak waktu untuk berprestasi di sekolah!
Sharon : Kamu jangan bilang begitu! Ini kesempatanmu! Aku gak akan kerepotan kok! Aku sudah menganggap Mamamu sebagai Mamaku sendiri! Lagipula, Mamamu juga kenal baik kan denganku, itu akan memudahkan kita dalam merawat Mama! Aku akan bilang pada orang tuaku untuk mengizinkanku untuk merawat Mamamu sebentar setelah pulang sekolah, kau fokus saja pada Olimpiade itu! Ayolah! Ini kesempatanmu! Hadiahnya bisa kau tabung untuk biaya ke Belanda, Will! Bagaimana?
Willem : Belum genap sehari aku mejadi kekasihmu, aku sudah merepotkanmu...
Sharon : Gak merepotkan kok! Aku senang tau! Ayo ikutlah Olimpiade itu, yaa?
Willem : Hmm... Kamu yakin?

~~Bersambung~~

Is Het LevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang