-8

79 7 0
                                    

"Kita ini milik-Nya, dan kita tidak pernah ditempatkan ditempat yang salah. Cinta pun milik-Nya Dia pun tak pernah menempatkannya di tempat yang salah."

***

Bismilahirohmanirohim ....

Suasana terik matahari seakan ikut membakar seluruh ragaku. Tiupan angin yang kemarin masih membelai lembut kini seakan bertubi-tubi menampar wajahku, meremukkan seluruh persendian ku.

Apa yang aku takutkan kini benar-benar terjadi.
Abi menyampaikan semuanya padaku hari ini. Tentang lelaki yang datang ke rumah tempo hari. Tentang lelaki yang bernama Zidan.

Jantungku rasanya benar-benar berhenti berdetak, seluruh badanku lemas.

"Waktu itu abi tidak mengatakannya karena abi rasa waktunya belum tepat, kamu sudah dewasa, Langit."

"Apa orangnya yang tempo hari datang kesini, abi?"

"Iya Langit, abi sudah memperkenalkannya padamu, namanya Zidan."

Ada aliran hangat membasahi kedua pipiku, aku tertunduk.

"Orang yang jarak usianya separuh usiaku, abi?"

Bendungan air mata ku tumpah sudah.
Namun Abi tak menjawab, seolah mengiyakan pertanyaanku.

"Kalau Langit menolak?"

Aku memberanikan diri menatap mata abi, mata yang sekian lama memberi tatap perlindungan seorang ayah. Mata yang dulu hangat membercandai putrinya yang nakal dan manja. Tatapan mata itu kini seolah berubah. Kosong, dingin, seperti tatapan mata orang asing yang sebelumnya tak pernah ku kenal.

"Tak ada pilihanmu untuk memilih Langit, kau hanya harus menuruti semua kata-kataku!"

"Tapi kenapa, abi?"

Abi terdiam lagi, tak ada suara.

"Langit gak mau, Langit gak mau menikah dengan laki-laki yang jarak usianya separuh usia Langit itu, Langit tidak mencintainya, atau bahkan mengenalnya, abi."

Tak tertahan, emosiku mulai meluap. Aku mengiba, marah, benci. Benci aku sama abi.

Setidaknya harus ada alasan, kenapa aku dinikahkan dengan lelaki tua itu. Menurutku dia sudah tua. Usianya hampir dua kali lipat usiaku.

Usiaku baru 19 tahun, tanggal 19 maret bulan depan. Dan lelaki tua itu, sepertinya dia sudah mau mencapai kepala 4.

"Bagaimana jadinya jika aku menikah dengannya?"

Aku bertanya pada hatiku sendiri.

"Apa alasan abi menikahkan Langit dengan lelaki tua itu?"

"Namanya Zidan Langit, sopan padanya!"

Abi mengeraskan suaranya.

"Langit gak peduli abi, dulu abi sudah berjanji pada Langit untuk membiarkan Langit tetap sekolah mengejar cita-cita Langit!"

Akupun tak kalah mengeraskan suaraku sambil terus menangis.
"Kenapa gak menjawab abi, apa abi gak mau membiayai sekolah Langit?, Gak apa-apa! Langit bisa cari uang sendiri, Langit akan bekerja di kota, Tapi jangan nikahkan Langit dengan lelaki tua itu, abi!"

"Cukup Langit, kecilkan suaramu!"

Aku terdiam sejenak, sedikit ketakutan mendengar abi membentak sekeras itu. Namun darahku kembali memanas, entah apa yang merasuki jiwaku, seperti kehilangan akal sehat. Aku benci sama lelaki yang sekarang ada di depanku, lelaki yang dulu adalah sahabat terbaikku, abi.

"Kenapa, kenapa Langit harus menuruti kata-kata abi, bahkan abi pun tak pernah ingin tau bagaimana perasaan Langit, Langit mau sekolah!"

Aku melihat abi memalingkan mukanya, entah apa yang abi pikirkan, namun aku melihat abi mengusap kedua matanya.

"Apakah abi menangis?"

Hatiku mencoba menebak apa yang sedang abi pikirkan.

"jika benar abi menangis, berarti abi pun tidak menginginkan adanya pernikahan dan perjodohan ini, lalu kenapa, apa yang membuat abi memaksakan kehendaknya menjodohkan ku pada laki-laki yang tidak aku cintai?"

Hatiku terus bertanya-tanya.

"Bukankah dalam pernikahan harus ada keridhoan diantara keduanya abi?"

Suaraku pelan, lama aku menunggu jawaban abi.

"Karena itu abi minta harus ridho Langit."

Ada nada berat dalam suara abi. Entah apa yang abi sembunyikan dalam pikirannya.

"Bagaimana mungkin Langit ridho dinikahi oleh lelaki tua itu abi, apakah abi tergiur oleh hartanya karena dia kaya, lalu berpikir untuk menjual Langit?"

"Praaak!"

Aku terperangah kaget setengah mati. Tangan abi yang dulu hangat menggendong dan memelukku baru saja mampir menampar keras pipi kananku.

"Cukup Langit, kamu sudah keterlaluan!"

Abi bangkit berdiri kemudian pergi meninggalkanku yang masih tak percaya abi telah tega melakukan ini padaku.

Ummi menghampiri sambil terisak, memapahku lalu menidurkan ku di kamar. Setelah memberi segelas air yang tak kuhiraukan ummi meletakkannya di meja belajar kemudian ummi keluar dari kamarku.

Lama aku terdiam, pipiku masih terasa panas. Tamparan abi yang tak kuduga membuatku semakin membenci abi. Bukan, bukan sekedar tamparan yang kurasakan, juga bukan sekedar pipi kananku yang merasa sakit. Namun bersama itu kepercayaanku kepada abi sudah hancur lebur. Abi telah mengkhianatiku, mengkhianati janji seorang ayah kepada anaknya, janji seorang sahabat terbaik.

Dilain sisi ada kepingan hati yang telah retak. Yang membuat jarak antara kepingan yang satu dengan yang lainya. Ada luka yang menganga yang sulit untuk digambarkan seberapa luka yang dirasa.

"Zidan ardiansyah,
Apa maksud ini semua, apa yang telah kau berikan pada abiku, sehingga ia tega menjual putri kesayangannya?"

"Kenapa tak kau biarkan aku hidup tenang dengan cita-cita dan masa depanku?"

"Kenapa!?"

"Bukankah diluar sana banyak wanita-wanita cantik yang bisa kau beli dengan uangmu, kenapa harus aku?"

Aku terus meracau tak karuan, menyebut nama Zidan Ardiansyah orang kedua yang kubenci setelah abi. Orang yang sekarang entah dimana, entah memikirkan aku atau tidak. Yang saat ini kutau dia yang telah merebut hak hidupku.

****

29 April, 2019
20:52


AIR MATA LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang