-9

100 6 0
                                    

Bismilahirohmanirohim ....

Hatiku masih berselimut kabut.
Berteman awan mendung, dihiasi renda keputus asaan.

Aku terkulai lemas ditempat tidur. Tak kudengar abi menyapa atau bahkan melihat keadaanku. Sejak dua hari lalu tangan abi mampir di pipi kananku, aku mengurung diri dikamar.

Jangankan sesuap nasi, seteguk air pun rasanya sulit untuk masuk kedalam mulutku. Kepalaku sakit bukan kepalang, badanku menggigil, dadaku sesak dan tenggorokanku terasa ada yang mencekik.

Ummi terus berusaha menyuapiku dengan sabar sambil sesekali kulihat menghapus air matanya.

Apa hendak dikata semua telah terjadi, seperti peribahasa  "nasi sudah menjadi bubur."

Aku yang terlalu yakin, bangga dan menaruh harapan besar pada abi yang kuanggap satu-satunya teman terbaikku yang akan terus menyemangati setiap langkah dalam menggapai cita-citaku. Namun semua itu pupus sudah karena abi tak ada bedanya dengan para orang tua lain di desa ini yang selalu memaksakan kehendak kepada anaknya.

Abi memang keras kepala dari dulu, dalam memegang prinsip yang ia yakini benar dan itu selalu masuk akal dan bisa kumengerti. Tapi kali ini, hal ini tak bisa kumengerti. Dan aku lebih keras kepala dari abi. Bukankah ada pepatah mengatakan bahwa"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari."

Perutku terasa mual-mual, kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang.

"Ummi, Langit mau ke kamar mandi." Pintaku pada ummi.

Ummi menganggukan kepalanya kemudian memapahku ke kamar mandi. Setelah selesai dari kamar mandi ummi memapahku lagi menuju tempat tidur.

"Nak, makanlah buburnya!, Tidak ada gunanya kamu menghukum dirimu sendiri. Kamu percaya taqdir bukan, seberapa kuat kamu menentangnya tapi semua telah tertulis di lauh Mahfudz. Apa yang tidak kamu kehendakki tidak akan terjadi jika bukan takdirmu, pun seberapa kuat kamu menggapai apa yang kamu kehendakki jika bukan taqdirmu maka tidak akan terjadi. Tugas kita hanya berusaha, tawakal, ikhlas dalam menghadapi semua ujian yang telah Allaah tetapkan."

Ummi menatap mataku dalam-dalam. Ada badai yang tak bisa kubaca, ada rintik membulir yang sengaja ditahan agar tidak terjatuh.

Aku menggenggam tangan ummi.

"Maafkan Langit, ummi. Langit bukan anak yang berbakti, Langit banyak merepotkan ummi."

"Ummi hanya mau kamu bersikap dewasa, tidak semua harapanmu sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Ingat, kita hanyalah manusia biasa yang terkadang selalu merasa berhak atas hidup kita, padahal jauh-jauh hari Allah telah mempersiapkan semua yang terbaik untuk kita. Dan tidak semua yang terbaik harus sesuai dengan keinginan kita. Siapa kita, Allahlah yang maha tau."

Ummi membelai lembut kepalaku, ada energi hangat yang kurasakan. Aku tersadar bahwa memang benar, tak ada gunanya aku menghukum diriku sendiri. Siapa diriku. Siapa yang bisa melukis taqdirnya sendiri.

"Kita hanya harus bisa menghadapi apapun yang telah Allah gariskan, bagaimana cara menghadapinya bukan menentangnya." Sambung ummi lagi.

Aku terdiam.

"Apa iya aku sedang menentang taqdir yang Allah gariskan?"

"Kenapa aku harus tak rela menghadapi ini semua, bukankah semesta ini milik-Nya?"

Jika memang ini taqdirku bukankah semua ini pasti akan tetap terjadi meskipun  menangis darah aku menolaknya, pun jika ini bukan taqdirku maka pasti tak akan terjadi tanpa aku harus repot-repot bertengkar sama abi.

Hatiku mulai melunak. Aku berserah diri hanya kepada-Mu Yaa Robbi.

                  ******

"Uhuk, uhuk!"
Kudengar abi terbatuk-batuk, sepertinya di belakang rumah. Mungkin abi sakit. Entahlah, meskipun aku sedang membencinya namun hatiku mencemaskan keadaanya.

Apakah abi sakit karena memendam sesuatu hal yang tak bisa ia utarakan padaku. Aku melihat jelas dengan mata kepalaku. Saat abi mengusap airmatanya perlahan waktu itu.

Atau ia tak tega melihatku beberapa hari ini terbaring sakit.
Aku yang sudah mulai belajar menghadapi apapun yang akan terjadi. Aku siap. Siapa diriku yang berani menepis taqdir.

Pagi tadi saat ummi membawakan makanan untukku, kupaksakan memakannya. Apa salah ragaku harus menanggung akibat dari keegoisanku.

Tubuhku mulai terasa ada energi. Mataku mulai bisa melihat dengan jelas juga kepalaku sudah tidak berkunang-kunang lagi. Hanya perlu istirahat beberapa hari saja mungkin aku sudah sembuh total.

Memang benar, apa gunanya
menyiksa diriku sendiri.

Kita hanyalah seorang hamba yang harus bisa menyelesaikan semua ujian yang telah Allaah siapkan bukan menentangnya.

Karena bukan kuat, jika tidak pernah merasakan sakit.
Bukan sabar, jika tidak pernah mendapatkan ujian.

******

Barakallahu fiik ....
Ramadhan, 20 Mei 2019

AIR MATA LANGITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang