"Asing, aku hanya bicara pada hatiku, hanya ada aku dengannya. Entah,"
Bismillahirrahmanirrahim ....
Rintik hujan kecil, mengiringi kepergianku dengan Zidan Ardiansyah. Setelah serangkaian acara yang begitu sakral namun bukan keinginanku usai dilaksanakan. Deraian air mata ummi melengkapi semua lara yang kupunya.
Bayangkan saja, aku akan mengikuti suamiku pergi merantau ke Jakarta, suami yang sampai saat ini aku tak pernah berani bicara padanya. Aku takut sekali jika lama-lama berada di dekatnya.
"Baik-baik, ya, sayang," Ummi memaksakan senyum menghiasi bibirnya. Namun rintik hujan tak hanya hadir di luar rumah tapi juga di pipi ummi.
Bismilahi tawakaltu ala Allah ....
Selamat tinggal kawan-kawan sepermainan
Aku akan berjuang melawan semua inginku
Aku sudah berjanji di hadapan Tuhan
Bahwa aku takkan menyerah dan mengalah pada takdir
Semua ujian harus dijalani bukan dengan rasa takut melainkan dengan penuh semangat
Karena setelahnya, kasih Allah akan lebih erat."Langit, sudah siap?" tanya Zidan sambil menatapku.
"Su-sudah." jawabku singkat.
Jeep hitam melaju dengan kecepatan sedang, bulir-bulir bening menjatuhi kaca depan mobil membuat irama yang sulit kuterjemahkan. Sesekali Zidan melirik ke arahku, kemudian kembali fokus pada kemudinya.
Hawa dingin mulai menyelinap ke dalam sendi-sendiku. Sementara sekeliling kabut putih hanya menyelimuti dan menyamarkan duka yang sedang terjaga.
Tiba-tiba, Zidan meremas jemariku. Aliran hangat menguasai raga, tubuhku bergetar antara ingin meronta dan ingin berteriak namun tak bisa.
"Kenapa, sayang. Bukankah aku sudah menjadi suamimu?" Sejenak Zidan menatap mataku. Dan tak sengaja mataku bertemu dengan tatapnya.
Dingin, aku tak menemukan apa-apa di matanya hanya tatapan penuh kelembutan. Bukan cinta.
Kembali tanganya meremas jemariku. Kali ini aku menariknya. Dan dia kembali menatapku. Heran.
"Apa kau tidak menyukaiku, sayang?" Dia mengelus tanganku.
{ oh, Allah. Ampuni aku. Apa benar ini jodohku. Jodoh yang sudah tertulis jauh sebelum ku ada? }
Sementara desakkan batin kian kutahan. Jika dia seorang yang baik aku tak ingin mengecewakannya dengan memberitahukan bahwa aku memang terpaksa menikah denganmu, Zidan.
"Langit, apa kau baik-baik saja?"
"i-iya, pak,"
"Lha, kok, memanggilku bapak, apa aku memang terlalu tua?" Zidan tertawa.Aku terdiam, diam seribu bahasa, harus jawab apa. Dia tidak menyeramkan seperti apa yang kukira. Dia hangat dan lembut. Tapi mungkin aku bisa menganggapnya seperti pamanku. Pamanku seumuran dengannya. Ah, kejam sekali. Tapi itu nyatanya.
Suasana hening kembali. Hawa dingin semakin memelukku, aku menggigil kedinginan.
"Kamu suka jagung bakar?"
"Su-suka, Pak."
"Sayang, kok, bapak lagi?"
"Saya bingung mau manggil apa, Pak?"
"Panggil, mas, juga boleh. Atau sayang juga lebih oke." Jawab Zidan enteng.Sementara aku hanya terdiam, perlahan ku anggukan kepala.
Gejolak api dalam dada sebentar meredup. Kenapa? aku menemukan jiwa Zidan yang hangat meski hanya luarnya saja.Entahlah, aku bingung. Lelaki tua ini, apa maunya. Dia seorang pengusaha, kenapa menjadikan aku sebagai istrinya, yang jelas tidak sebanding dengannya.
Jika dia mau, bisa saja dia mendapatkan perempuan berkelas yang lebih pantas untuknya. Oh, Allah, sebenarnya apa rencana-Mu.
Zidan menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang unik. Sebuah gubuk kecil lengkap dengan peraduannya, cocok sekali untuk sekedar menghangatkan badan yang sedari tadi menggigil kedinginan.
"Jagung bakarnya, ya teh," Zidan memesan jagung bakar.
"Mau rasa apa, Pak?"
"Ada rasa apa saja, ya, Teh?"
"Bawang putih, keju, dan rasa pedas," Jawab si teteh warung menyebutkan aneka rasa jagung bakar."Sayang, mau rasa apa?" Zidan menatapku, aku cukup merinding mendengar Zidan memanggil sayang di depan si teteh warung. Canggung, pipiku memerah.
"A-aku, rasa pedas saja"
"Oke, samakan saja. Empat buah ya, Teh."
"Baik, Pak, ditunggu sebentar," Jawab si teteh warung sambil pergi mempersiapkan jagung bakar.Aroma wangi jagung manis bakar mulai menguar. Sementara Zidan menikmati kopi hitamnya dengan kepulan asap rokok dan sesekali melihat ke arahku.
Denting suara hujan yang menjatuhi atap warung seolah berlomba dengan suara degup jantungku.
Hujan ini mengingatkanku pada jendela kamar. Padahal baru beberapa jam aku meninggalkannya. Aku suka mendengar bunyi hujan yang jatuh pada atap genting kamarku. Ada pesan dalam bunyinya yang sulit diterjemahkan, seolah sedang ingin dimengerti bahwa setiap rasa berhak memiliki ruang meski kadang setiap rasa sulit untuk menemukan tempat yang tepat.
Dengarkan saja bunyinya dia selalu mengikuti objek tempat ia terjatuh. Jika ia terjatuh di atas genting, maka bunyinya seperti berlomba membentuk suatu irama. Tapi coba dengarkan lagi jika ia terjatuh di antara pohon-pohon, suaranya tidak seberisik ketika menjatuhi genting kan.
Ini berarti hujan tak pernah egois, dia selalu belajar mengerti dalam setiap keadaan.
Aku suka sekali berada di dekat jendela saat turun hujan. Aku hanya ingin belajar bijaksana dari dia."Silahkan, Pak, Bu, jagung bakarnya sudah siap," rupanya si teteh warung mempersilahkan kami mencoba jagung bakarnya tadi.
Apa katanya tadi, Pak, Bu. Ah, yaa Allah apa aku setua itu. Aku hanya bisa merutuki diriku sendiri.
Aku diam, tak berani mengambil jagung bakarnya sebelum Zidan mengambil duluan. Padahal sedari tadi aku ingin segera mencicipinya, apalagi aromanya sangat mengundang selera. Dan rasanya, rasa pedas kesukaanku.
"Yuk, cobain, pasti enak," Zidan menyodorkan satu buah jagung bakar padaku.
"Iya, Pak. Silahkan duluan," Aku merutuki diriku sendiri, kenapa tak cepat-cepat mengambilnya, padahal cacing-cacing dalam perutku sudah berteriak-teriak dari tadi. Ini karena gengsi tau malu.
Sepertinya Zidan mengerti keadaanku dia menawarkan lagi jagungnya padaku.
"Ayo, nanti dingin, kan gak enak."
"Iya, Pak,"
Tak ragu lagi, aku segera mencicipi jagung bakar yang sedari tadi ingin aku melahapnya. Tanpa tersisa sedikitpun dua buah jagung bakar untukku dan dua buah untuk Zidan lenyap seketika."nikmat sekali, apa kamu mau nambah jagung bakarnya?" Zidan bertanya padaku.
"ti-tidak, Pak. Aku sudah cukup."
Jawabku, iya, yang benar saja jika aku bilang mau nambah lagi jagung bakarnya. Padahal kayaknya nambah satu lagi, mantap.______
Gunung Tumpeng, 22 Oktober 2019
Barakallahu fii kum 😍🤗
![](https://img.wattpad.com/cover/177176068-288-k786880.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AIR MATA LANGIT
General FictionLangit! Ya, seorang gadis tomboy, periang, cerdas, mempunyai banyak teman dan bercita-cita ingin menjadi psikolog dan pengacara ini seketika harapannya hancur lebur. Saat ia dengan terpaksa harus menerima kenyataan menuruti keinginan abinya menikah...