Saudade 2: A Serendipity

1.2K 132 6
                                        

Sesuai order-an dari one of my friend, jadi aku buat cerita ini berdasarkan dari foto di bawah, I'm not a good story writer and I'm not good at picking story line, but I hope you can enjoy this fiction, and you can judge me after that, ciao

Sesuai order-an dari one of my friend, jadi aku buat cerita ini berdasarkan dari foto di bawah, I'm not a good story writer and I'm not good at picking story line, but I hope you can enjoy this fiction, and you can judge me after that, ciao✨

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mean mengeluarkan napas panjang, jenuh. Jenuh dengan sikap pria manis di depannya yang lebih memilih diam seribu kata dibanding berbicara empat mata dengannya. Terbilang 30 menit sudah Plan mendiamkan Mean, bahkan sejak kedatangan Mean dari Beijing tak satu patah pun Plan ucapkan, ia hanya mempersilakan Mean masuk, membuatkannya makan malam, dan sudah, pria itu malah mengambil satu buku dari salah satu rak yang berada didekat televisi dan duduk diam dengan bukunya di sofa. Dan, hei! Bahkan Mean tak ingat kekasihnya itu gemar membaca cerita-cerita fiksi.

Mean menghela lagi, ini sudah helaan yang kesekian kali, sungguh! Mean lelah, ingin sekali istirahat dari perjalanan jauhnya. Ia ingin merebahkan tubuhnya, ia ingin sekali memeluk tubuh mungil Plan, menghirup aroma addictive milik Plan dan tertidur pulas. Itu sederhana, hal yang biasa Mean minta ketika sehabis bepergian jauh karena pekerjaan. Sayangnya, Mean harus mengelus dada untuk malam ini, atau mungkin untuk beberapa malam kedepan karena Plan yang merajuk bisa lebih lama dari proses pembuatan visa luar negeri, Mean bersumpah!

"P'Plan?"

Plan mendesah pelan, mengeluarkan karbon-dioksida dari dalam hidungnya dan menatap Mean. Sendu.

"Mandi, makan makananmu, lalu tidur," ujarnya, itu kalimat pertama dan terpanjang dari Plan sejauh 30 menit ini.

Mean bergerak gelisah. Ia frustrasi dengan sikap Plan yang seperti ini; diam. Memilih untuk tak membaginya dengan Mean. Mereka sudah bersama sejak tiga tahun yang lalu, nyatanya angka tiga tahun masih belum cukup untuk Plan saling terbuka akan dirinya. Mean mulai tersulut emosi, Ia menatap Plan gamang.

"Aku melakukan kesalahan lagi? Atau kau sudah bosan hidup denganku? Apa kau sebisu itu hanya untuk sekadar berbicara apa masalahmu? Aku tidak pulang hanya untuk melihatmu merajuk tidak jelas, Plan!"

Plan hanya mampu menatap si besar itu dalam. Matanya sayup, Plan ingin menangis, berteriak, menampar, mencaci-maki Mean dengan ribuan kata kasar yang hanya mampu Plan telan bulat-bulat beberapa minggu belakangan. Air matanya seolah beku, teriakannya tak mampu keluar dan hanya membisu di dalam batin. Plan terluka, tapi rasa sayangnya untuk pria besar di sana lebih dalam, sangat dalam bahkan untuk merasakan sakit itu sendirian.

"Masih tidak mau bicara?" Mean mendekat, menatap tajam lewat bundaran jernih pria yang setahun lebih tua darinya. Mean tak mendapatkan apapun di dalam pendar sayup milik Plan.

Mean bodoh.

"Kalau aku bicara dan mengatakan semuanya, aku tidak akan melihatmu besok pagi, ataupun hari-hari berikutnya." Itu Plan, dia berbicara menahan suaranya yang mulai serak, tenggorokannya yang mulai menjepit karena tangis yang dipaksa tertahan.

SAUDADEWhere stories live. Discover now