Saudade 6: Wonderwall

920 87 13
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



PLAN

Aku suka mengukur seberapa besar rasa cinta kepada seseorang lewat segulung rasa rindu. Kau merindukan seseorang tersebut, hingga hanya selama 24 jam saja kau tak melihat batang hidung orang itu dihadapanmu sudah seperti mau mati rasanya. Kau mencintainya sebesar Tuhan menyayangi nyawamu, mungkin? Kau merindukan seseorang hingga 24 jam saja kau tak mendengar suaranya berbisik di telingamu sudah setara dengan seluruh indera pada tubuhmu berhenti berfungsi. Kau mungkin mencintainya sampai kau rela memberikan seluruh kebahagiaanmu untuknya.

Ini terdengar konyol, aku tahu. Hidupku tak melulu soal cinta. Aku tahu aku masih bisa hidup bahkan ketika cinta tak lagi berpihak padaku. Aku tidak akan melakukan hal-hal gila, seperti; bunuh diri, pergaulan bebas, dan lain hal lagi yang malah tambah merusak hidupku, tidak! Oh, astaga. Aku tidak segila itu, setidaknya jalan pikiranku masih waras dan akan selalu begitu. Tapi, jika itu tentang dia, pria muda yang sudah meluluh-lantahkan isi dari perasaanku, merusak pararel hatiku. Aku sudah tidak tahu lagi di mana kuletakkan saraf sehatku. Aku sakit jiwa jika ini tentang dia. Maksudku, aku masih bisa membedakan mana yang benar-benar duniawi atau sekadar emosi sesaat, aku bersyukur Tuhan memberiku akal sehat yang tidak terhingga jumlahnya. Namun, ayolah! Dua minggu itu waktu yang lama, apalagi saat kau terbiasa dengan keberadaan orang itu bersamamu sepanjang waktu. Aku rindu, rindu yang benar-benar membunuh seluruh akal sehatku, bahkan hanya dengan melihat warna kesukaannya kembali membuatku bermuram durja seharian. Apa aku benar-benar sudah gila? Otakku tak pernah memikirkan hal lain selain wajah jeleknya yang tersenyum didepanku, atau kelakuan diluar nalarnya yang sering ia tunjukkan padaku. Aku bisa gila, aku serius! Mean cepat kembali!

Kalian mengenal Mean Phiravich? Dia kekasihku, aku lupa sudah berapa lama kami bersama, lima bulan? Satu tahun? Atau lupakan. Mean adalah kekasihku, kalian tidak menyangka bukan? Karena aku juga begitu, tidak menyangka bahwa bocah ingusan yang kukenal sejak 3 tahun lalu itu akan menjadi kekasihku. Hei, bahkan ketika pertemuan pertama kami, aku tak memiliki satu pemikiran bahwa kami akan dipertemukan lagi dalam sebuah serial televisi, sebagai pasangan pula! Bukankah Tuhan sangat baik padaku? Aku harus sering-sering berdoa di kuil.

Mean sedang melakukan pekerjaannya di Jepang, untuk waktu yang cukup lama. Satu minggu lebih sehari mungkin? Bagiku itu waktu yang lama. Aku terbiasa melihat batang hidungnya berkeliaran disekitarku. Jadi, tidak melihatnya secara nyata didepannku selama seminggu penuh nyaris membuatku buta mata, buta pikiran.

"P'Mean mengirimiku pesan lagi dan terus akan mengirimiku! Dia bertanya tentang keadaanmu, ini mulai sangat menggangguku!" Barusan itu adalah suara dari Perth, teman sekaligus adikku, bukan adik kandung. Kami bernaung dalam satu agensi dan kami cukup dekat.

Perth sudah dari dua hari yang lalu seperti ini; kesal karena Mean terus saja mengiriminya pesan, bertanya kabarku. Salahku juga sih. Aku sama sekali tidak membalas pesannya, pun juga tak mengiriminya satu pesan saja sejak dua hari yang lalu. Tidak, aku tidak marah padanya, aku juga tidak sebal atau kesal akan sikapnya. Aku hanya ... rindu.

SAUDADEWhere stories live. Discover now