Tin menatap hujan pagi itu dari balik jendela kamarnya di lantai tiga. Awan kelabu masih menggantung dan suhu dingin masih menyelimuti tubuhnya yang mematung sejak dua puluh menit yang lalu. Matanya menatap lurus tiap air yang jatuh begitu deras, menimbulkan bunyi berisik sekaligus bersamaan angin kencang mengempas-empaskan ranting pepohonan. Tin masih geming. Dari sorot matanya yang tajam, ada kekosongan sangat besar melanda. Entah sejak kapan Tin merasa begitu kehilangan padahal ia sadar bahwa sejak awal ia bahkan belum memiliki. Matanya sembap, setelah lama ia tak pernah menangis. Hatinya yang sakit, kini terasa begitu kosong.
Tin selalu bertanya, apakah memang Tuhan tidak memiliki niat untuk memberikan Tin cinta? Apakah dulu, sebelum ia dilahirkan menjadi seorang Tin Medthanan, ia adalah manusia bengis dan harus menanggung akibatnya di kehidupannya kali ini? Mengapa ketika ia telah memberikan perasaan cintanya pada orang lain, ia tak pernah mendapatkan balasan yang setara, atau setidaknya, berikan Tin sedikit cinta? Sedikit saja, Tin hanya ingin dicintai. Ia tidak muluk-muluk. Bila syarat untuk dicintai, Tin harus menguras habis seluruh uangnya, ia rela. Bahkan bila perasaan dicintai menuntut nyawanya, Tin akan memberikannya.
Ia hanya ingin dicintai dengan tulus. Sedikit saja, tidak muluk-muluk.
Hingga saat ini, Tin telah berusaha. Meski menutup dirinya rapat-rapar, Tin selalu berusaha jadi anak yang terbaik. Ia sadar sulit mengalahkan kakaknya. Lebih sulit mendapatkan cinta ibunya. Dan mustahil mendapatkan perhatian dari ayahnya.
Lalu, Can ....
Tin menelan ludah. Terasa begitu kelu mengingat nama itu.
Ia kembali mengingat, apakah ia tidak layak untuk mendapatkan cinta? Tin telah berusaha. Ia sadar tidak pernah tahu bagaimana cara paling tepat untuk mendapatkan perasaan itu, tapi ia tetap melakukan yang terbaik.
Namun sepertinya Tuhan memang tidak ingin ia dicintai di dunia ini. Bahkan Can memilih untuk tidak berada di dekatnya. Can memilih pergi, membatasi diri dan memberi label 'teman' untuk seorang Tin Medthanan.
Tin tersenyum muram pada seekor merpati yang tiba-tiba hinggap di pagar besi di balkon kamarnya. Bulunya yang putih terlihat basah, tubuhnya berkali-kali dikibaskan dan terlihat begitu kedinginan lalu jatuh. Ada warna merah mengalir dari tubuh merpati itu.
Jendela besar itu terbuka. Tin menghambur keluar, tidak peduli pada hujan yang perlahan membuat bajunya basah.
Tin mengambil merpati yang tak bergerak itu. Cepat-cepat ia menyelimutinya dengan handuk keringa yang ia ambil dari lemari dan membawa merpati itu ke kamar mandi. Ada luka kecil di sekitar sayap.
Naluri Tin tak pernah berubah. Ia tetap mencintai dengan mudah pada hal yang lemah.
Ia ingin seperti Tul, tak memiliki perasaan mudah dibodohi oleh ketulusan dan cinta.
Faktanya, Tin haus akan itu semua.
Tidak apa-apa, begitu pikir Tin. Biarkan aku hancur dengan perasaan berharap bahwa akan ada seseorang yang mencintaiku tanpa syarat. Ketika aku mungkin sudah menjadi gila. Seandainya tidak ada, tidak apa-apa. Mungkin aku yang memang tidak berguna, seperti yang dikatakan Tul, Mama, dan Papa.
Tapi aku akan terus berusaha. Untuk diriku, setidaknya untuk tubuhku sendiri.
Tin telah membalut tubuh merpati itu. Menempatkannya pada wadah besar dan menyiapkan biji-bijian yang ia dapat dari dapur di lantai satu beserta minuman.
Ia tidak paham merawat burung. Tapi setidaknya, Tin telah berusaha.
Hingga hari berikutnya dan seterusnya, Tin tak pernah menemukan merpati itu sadar. Burung itu mati, mungkin terlalu parah, atau Tin yang tak becus merawatnya.
Tapi Tin telah mencurahkan perasaan cintanya untuk merawat burung itu. Lalu mengapa burung itu tetap saja mati?
Tin terhenyak. Lalu senyum muram itu kembali datang.
Ia tak pernah layak untuk mendapatkan balasan atas perasaan cintanya meski ia telah berjuang, meski ia telah mencoba dengan cara yang ia tak pernah pahami. Usahanya, sekeras apapun, Tin menyadari, perasaan itu tak pernah berbalas.
Airmata kembali menggenang. Tin membawa jasad burung itu ke halaman belakang. Ia menguburnya, mendoakan pada entitas yang tak terlihat agar burung itu menemukan tempat terbaiknya.
Tin mencintai burung itu, mencintai Can.
Tin ambruk. Raganya terlalu lelah. Ia menangis kencang di bawah pohon. Hujan lagi-lagi turun tapi Tin tak berpindah.
Ia terlalu mencintai burung itu, mencintai Can. Mereka memilih pergi, meninggalkan Tin sendiri lagi.
Lalu Tin berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk hidupnya? Ia kira dengan bertemu Can, segalanya akan berubah. Ternyata tidak. Tin bangun, tubuhnya basah kuyup. Ia tidak peduli.
Tin tetap akan mencintai Can meski Can tak akan pernah membalasnya.
Lagipula, pada akhirnya, Tin memang tak pernah mendapatkan balasan, kan?
TAMAT.
Catatan Penulis:
Cukup pendek, memang. Seseorang bilang, untuk jadi seorang penulis: you need to show not tell.When I decide to be a writer, I wanna share my feelings to myself into words that can't be spoken.
And I hope I did it well.
See you when you see me,
K.
YOU ARE READING
SAUDADE
Romance[Kumpulan MeanPlan/2wish OneShoot; AU/Reality] SAUDADE; (n.) a feeling of longing, melancholy, or nostalgia. a feeling of missing something or someone. It is used to tell about something that you used to have (and liked) but don't have anymore. ...