Sore itu dia memang pulang terlambat. Berkas-berkas pendaftaran perguruan tinggi berserakan di depannya.
Lima menit lagi perpustakaan akan tutup, tapi tak ada tanda-tanda dia akan beranjak dari situ.
Sedangkan temannya sudah merajuk sejak tadi.
"Chan, mau sampai kapan di sini? Lanjutkan saja di rumah, ayo pulang," rengek laki-laki yang sekarang sedang duduk di atas meja.
"Turun kau dari situ, itu bukan tempat untuk duduk," perintah Yechan.
"Ish," sungutnya, "kau ini menyebalkan."
"Kalau aku ini menyebalkan, kenapa kau meminta tolong padaku sih? Sampai-sampai mengikutiku kemanapun."
Sedangkan lawan bicaranya hanya terkekeh sambil melompat turun dari meja.
"Kan hanya kau yang bisa membantuku," ujarnya lagi. Kini ia sudah berdiri di atas meja penjaga perpustakaan. Entah sejak kapan ia sudah di situ.
"Sudah cukup bicaramu, bantu aku merapikan ini lalu kita pulang."
Kemudian Yechan menatap ke arah meja depan, kemudian menghela napas.
"Kau ini tak bisa apa-apa."
Beberapa menit kemudian, ia sudah siap dengan ransel di bahunya, mengeluarkan kunci perpustakaan dan beranjak pergi.
"Kau bawa kunci perpus?" Tanyanya pada Yechan.
"Bisa tidak sehari saja kau jangan berbicara padaku," ujar Yechan sambil mengunci pintu, "aku tidak mau disangka aneh oleh orang-orang."
Kemudian keduanya berjalan menuju kantor staf di sekolahan itu. Setelah itu mereka berjalan ke halte.
"Jinsung, semenjak kau mengganggu hidupku, kau tidak pernah memberitahu apa yang bisa kulakukan untukmu. Kau hanya berkata ingin meminta pertolonganku."
"Ah, itu. Entahlah, aku tidak tahu apa yang bisa kau lakukan. Tapi dengan adanya aku di sini, itu menandakan ada sesuatu yang harus aku tuntaskan terlebih dahulu."
Bus datang dan Yechan segera masuk lalu duduk di bangku paling belakang.
"Kau mau membantuku, 'kan?" Tanya Jinsung sambil menempelkan wajahnya di jendela.
Yechan hanya mengangguk kecil.
Saat turun dari bis, Yechan lanjut berjalan dan masuk ke sebuah gang kecil. Ketika akan sampai ke rumah, ternyata tetangga barunya baru pulang dari liburan. Mereka pindah ke sini seminggu yang lalu. Tepat ketika Jinsung mulai mengacaukan hidupnya.
"Hai, sudah pulang kau?" Tanya Yechan pada anak dari keluarga Jeon.
"Iya hyung," ia menoleh, "bukan liburan sih, tepatnya aku harus dikurung di sebuah tempat untuk meredakan depresiku."
Yechan tersenyum memaklumi, memang saat terakhir kali ia bertemu dengan Doyum, tetangganya ini sudah mirip seperti mayat hidup. Benar-benar terlihat seperti orang yang hilang kewarasannya.
"Sekarang sudah mendingan?"
Doyum menggeleng, "tak ada hasilnya."
Yechan pamit kemudian masuk kerumahnya.
"Tumben kau diam saja?" Tanya Yechan sambil melepas sepatunya.
"Yechan, sepertinya aku tahu apa yang harus kau lakukan."
***
Setelah mandi dan makan malam, Yechan bergegas ke kamarnya setelah mencuci piring bersama ibunya.
Di sana ia melihat Jinsung berdiri di balkon sambil menatap ke depan.
"Sedang apa?"
Jinsung tak menoleh, tatapannya masih terpaku pada sosok di seberang yang kelihatan linglung.
"Dia," jarinya menunjuk ke depan, "ada yang harus kau lakukan terhadapnya."
"Doyum?"
***
Keesokan harinya, Yechan pagi-pagi bertamu ke rumah keluarga Doyum. Untung saja hari ini dia libur. Karena memang anak tingkat akhir sudah tidak diwajibkan masuk sekolah setelah ujian nasional. Hanya di hari-hari penting saja.
Tok tok tok
Ny. Jeon membuka pintu dengan wajah muram.
"Kau mencari siapa, nak?"
"Doyum ada?"
Kemudian Ny. Jeon mempersilahkan Yechan untuk menemui Doyum dikamarnya.
Yechan sudah berada di kamar Doyum, karena pintunya tidak dikunci.
"Yum," Doyum menoleh.
"Ada apa, hyung? Mau mengajakku bermain? Maaf, aku sedang tidak ingin kemana-mana," jawabnya lesu.
"Ada yang ingin bertemu denganmu."
Doyum hanya melayangkan tatapan bertanya pada Yechan.
"Jinsung."
"B-bagaimana kau b-bisa mengenalnya?"
***
Keduanya sudah sampai di sebuah tempat yang sunyi. Hanya petakan-petakan tanah-tanah yang tersusun rapi di sana-sini. Doyum mencoba menguatkan dirinya sambil memegang bagian belakang jaket Yechan.
"J-jinsung," air mata lolos dari kedua mata Doyum. Jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya. Ia terduduk di depan gundukan tanah yang masih kelihatan segar dengan nama Jung Jinsung tertera disana.
"Aku tahu, kau masih belum bisa menerima semua ini. Tapi tolong ikhlaskan saja dia. Kau tahu? Selama beberapa hari terakhir, dia selalu mengangguku karena tidak bisa pergi ke tempat selanjutnya. Karena ada seseorang yang masih menahannya di sini."
Tangisan Doyum semakin keras.
"Yaitu kau."
Doyum mengusap nama Jinsung dengan pelan. "Maafkan aku, maaf karena menahanmu di sini. Maafkan aku, Jinsung. Aku benar-benar minta maaf. Andai waktu itu aku tidak membiarkanmu pulang, pasti kau masih ada di sini."
"Jangan begitu. Semuanya sudah ditakdirkan. Mau bagaimana kau mencegahnya, kematian pasti akan datang menghampiri," ujar Yechan.
"Maafkan aku," gumam Doyum, "pergilah. Aku akan mengikhlaskanmu. Pergi dan tenanglah disana."
Yechan tersenyum dan melambai ke satu sudut. Di sana berdiri Jinsung yang sosoknya kian memudar. Senyumannya mengembang dan ia juga terlihat senang sekaligus sedih.
"Ayo pulang. Ada surat dari Jinsung."
Kemudian mereka berdua pulang, dalam keadaan Doyum yang tak berhenti menangis dan Yechan yang entah kenapa tiba-tiba terlihat kesal.
"Hai, aku Taekhyeon. Kau bisa membantuku, 'kan? Aku tahu kau bisa melihatku. Mau membantuku? Mau? Mau?"
-END-
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Fantasy : PERSONA? -1THE9- [✓]
FanfictionKak yuk main tebak-tebakan yuk? "Just thinking about... The real them." June, 2019 - March, 2020.