Part 08

6.9K 497 13
                                    

Setelah lama berada di dalam dilema, akhirnya yang Stuart lakukan hanya terdiam lalu membaringkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamar. Mata tajamnya meredup, membayangkan bagaimana Luna tersenyum karena seseorang di luaran sana. Rasanya sakit, tepatnya bagian hatinya yang paling dalam, seolah ada ejekan yang membuatnya terhina karena terlalu pengecut di depan Luna.

Dengan perasaan frustrasi, Stuart membangunkan tubuhnya, lalu menghembuskan nafas gusarnya berharap bisa menenangkan perasaannya yang kacau. Hingga tatapannya jatuh pada makanan yang berada di atas meja kerjanya, makanan yang tadi Luna masak dan antar sendiri untuknya.

Walau merasa khawatir dan frustrasi akan pertanyaan tentang siapa Luna bersama, namun sebiasanya Stuart berusaha untuk tenang kali ini, lalu mendirikan tubuhnya dan berjalan ke arah meja kerjanya di mana sarapannya sudah tertata rapi di sana. Jujur saja, Stuart merasa sangat lapar sekarang, meskipun kepergian Luna membuatnya tak berselera kali ini, namun anehnya otaknya justru merasa penasaran tentang bagaimana rasa dari masakan Luna itu.

Dengan perasaan ragu, Stuart menatap nasi goreng itu lalu menyantapnya secara perlahan, seolah ingin menikmati setiap bumbu yang berada di dalamannya. Enak, Stuart pikir begitu, meskipun nasi goreng Luna tidak seperti biasanya ia santap, tapi cukup nikmat di lidahnya.

Di sisi lainnya, Luna berjalan ke arah lorong rumah sakit ke arah kamar ibunya yang tadi sempat ia tanyakan di mana tempatnya ke bagian resepsionis. Sampai saat matanya menangkap nomor ruangan yang ia cari, tepatnya nomor 201 yang tertempel di bagian pintu. Dengan perasaan lega, Luna membuka pintu itu secara perlahan lalu mengintipnya sedikit untuk melihat pemiliknya. Dan benar, di sana ada ayahnya tengah duduk di kursi, sedangkan ibunya berada di atas kasur. Mengetahui hal itu, bibir Luna seketika tersenyum lalu membuka pintu itu lebar-lebar untuk menyapa orang tuanya.

"Ayah," panggilnya yang langsung ditoleh oleh lelaki itu, lalu mendirikan tubuhnya untuk menyambut tangan putrinya yang ingin mengalaminya.

"Kamu dari mana saja, Luna? Ayah khawatir dengan kamu," tanyanya terdengar sendu, membuat Luna merasa sangat bersalah karena sudah meninggalkan ayahnya sendiri bersama dengan ibunya di rumah sakit.

"Kan Luna sudah bilang, Yah, kalau Luna menginap di rumahnya Tante Anita." Mendengar ucapan putrinya itu, sang ayah hanya mengangguk lesu, membuat Luna merasa sangat bersalah karenanya.

"Maaf, Yah, kalau Luna cuma bisa ke sini saat siang hari, karena Luna harus menuruti perintah Tante Anita untuk menginap di rumahnya demi perjanjian yang sudah kita sepakati sebelumnya," ujar Luna lagi.

"Ayah mengerti, Luna. Seharusnya Ayah yang minta maaf, karena Ayah enggak becus memimpin keluarga kita, sampai kamu harus melakukan perjanjian ini demi kesembuhan Ibumu," jawab sang ayah terdengar pasrah.

"Luna enggak apa-apa kok, Yah. Lebih baik sekarang Ayah istirahat ya, biar Luna saja yang menjaga Ibu. Ayah pasti capek, karena semalaman harus menemani Ibu." Luna menggiring tubuh ayahnya ke arah sofa, agar lelaki itu bisa beristirahat di sana.

"Enggak, Luna. Ayah kan harus bekerja, jadi Ayah enggak bisa beristirahat. Nanti bagaimana dengan kebutuhan Ayah dengan Ibu selama di sini, kalau Ayah enggak kerja." Mendengar ucapan ayahnya itu, jujur saja Luna merasa kasihan dengan ayahnya itu, namun bibirnya kali ini justru tersenyum lalu mengambil amplop berisikan segepok uang dari tasnya dan memberikannya pada ayahnya.

"Ayah bisa pakai uang ini untuk sementara waktu selama ada di sini," ujar Luna sembari memberikan uang tersebut, yang justru dipandang heran oleh Ayahnya.

"Uang sebanyak ini kamu dapat dari mana, Lun?" tanya ayahnya terdengar tak suka, sedangkan Luna justru semakin tersenyum mendengarnya, walau ia juga merasa bagaimana ayahnya itu begitu mengkhawatirkannya.

Introvert Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang