•••
Mentari kembali bersinar. Rutinitas harian harus dilakukan kembali. Penat, batin Rena. Tapi, mau bagaimana lagi.
Mentari sebenarnya belum benar-benar muncul. Sekarang baru jam setengah enam pagi. Namun, Rena sudah sampai di halte bus, dengan earphone di salah satu daun telinganya. Bus tentu saja belum datang. Jam operasionalnya jam enam lewat sepuluh. Ia sengaja datang lebih pagi, agar tidak bertemu Mama di rumah—ataupun Runi.
Ia menyenderkan kepalanya di kursi halte bus. Masih sepi sekali. Sejujurnya, ia sangat mengantuk. Badannya pegal. Tidur tidak membuatnya segar, sejak lama.
"Ck, seandainya aku bisa lari." katanya frustasi.
"Lari kemana?"
Rena terkejut. "Loh? Haechan? Jam segini?"
Yang di tatapnya hanya tertawa. "Iya. Nggak apa-apa kan?"
"Kamu sehat?" Rena melotot.
"Ya sehatlah..." Jawabnya sembari tertawa. "Tumben jam segini sudah di halte? Mau ketemu aku ya?"
"Mimpi. Aku memang sedang ingin datang lebih pagi."
Haechan ikut duduk di sebelah Rena. "Kenapa? Cerita saja," kata Haechan. Rena hanya menggelengkan kepalanya.
"Jangan seperti perempuan, Rena. Mereka kontradiktif. Aku tidak mengerti."
"Tapi, aku ini perempuan, Chan."
Haechan tertawa, lagi. "Tidak capek?"
Capek. banget.
"Biasa saja. Aku kan anaknya kuat." —kuat dan pandai bersandiwara. "Gimana dengan Jeon Somi? Ada pergerakan?" tanya gadis itu sambil mengangkat alisnya.
"Negatif. Sudah tidak tertarik." Jawabnya enteng.
Rena kaget setengah mati. Sejujurnya senang setengah mati. "Hah? perasaan kamu baru bilang kamu menyukainya minggu kemarin?" kata Rena bingung, dan mencoba menahan senyumnya yang keterlaluan.
"Ih, siapa yang bilang aku suka padanya? Tidak, negatif. Nol besar. Cuma sedikit tertarik,"
"Jangan begitu, Chan. Jahat namanya. Tapi, kamu belum bilang apa-apa ke dia kan? Takutnya dia salah paham terus patah hati." Kata Rena.
Haechan tercengir. "Jangan mengubah arah pembicaraan, Kim Rena. Sekarang jawab aku, Kau kenapa? Kalau ada masalah cerita saja, Ren." ujarnya, tiba-tiba.
Rena tertawa. "Bukannya seharusnya aku yang mengatakan itu padamu, Chan? Jangan berpura-pura padaku. Kamu bohong, aku sudah tahu, walaupun di depannya—aku percaya, tapi sebenarnya aku tahu."
"Aku awalnya nggak mau ikut campur, tapi karena sekarang kamu itu temenku, aku nggak bisa diem terus. Aku yakin, kamu nggak bakal cerita kalau aku nggak nanyain terus. Ada apa sebenarnya Haechan?"
Haechan tiba-tiba mengeras. "Bukan urusanmu."
"Terserah kamu, Chan. Yang jelas semakin kamu lari, masalah semakin mengejarmu."
"Aku nggak lari, Kim Rena. Aku mencoba bertahan." ucapnya, tanpa menatap Rena sedikitpun.
"Percuma kalau kamu bertahan tapi tidak mencoba menyelesaikan masalah. Sampai kapan kamu bisa bertahan?"
"Bukan urusanmu."
"Kamu sudah kalah, Haechan. Lebih baik kamu jujur." kata Rena, melunakkan nada bicaranya.
Ia melepas earphone yang masih menempel di telinganya. "Aku tahu, bukan hakku untuk memaksamu. Tapi aku yakin, kamu tidak akan cerita kalau aku tidak memaksamu."
Rena memandangnya penuh arti. Pemuda itu menundukkan kepalanya. Ia menangis.
Ia menangis.
Haechannya menangis.
"Jangan takut untuk cerita, Chan. Kamu tidak pernah sendiri," katanya sambil tersenyum dan membawa Haechan ke dalam rengkuhannya.
Hangat.
Tidak pernah salah
Dua jiwa yang ditakdirkan
untuk jadi satu,
semoga sajaNamaku dan namanya
Selamanya.Dua rapuh yang bertahan,
agar menjadi utuh,
semoga saja.Haechannya menangis dipelukannya. Rena sekuat tenaga berperang melawan batinnya.
Semoga ini bukan bumereang untuk diriku sendiri.
"Kalau memang tidak kuat, lepaskan saja. Kamu terlalu lama menyimpannya sendiri. Kesedihanmu punya hak untuk menunjukan dirinya."
"Ren—"
"Ssst, tidak usah bicara. Keluarkan semuanya. Tenang, semua akan baik-baik saja," Rena masih memeluknya berharap dapat mengurangi beban di pundak lelaki itu.
"Jangan pernah takut untuk menangis, Chan."
"Jangan pernah takut untuk menangis,"
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfiction𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...