"Pulang sama siapa, Chan? Aku kayaknya hari ini ada tugas kelompok, kamu pulang sama temen-temenmu ya?" tanya Rena seraya membereskan tas dan peralatan sekolahnya.
Haechan mengangguk, "Iya, santai saja. Lagian sejak kapan kamu khawatir aku pulang sama siapa?" ejek Haechan. Pemuda itu memainkan resleting tas Rena yang tergeletak di atas meja.
"Iya iya, terserah lah." jawab Rena asal. Gadis itu segera mengambil tasnya dan menyampirkannya ke punggung. "Ngapain masih disiniii? Ayo, aku juga udah janjian sama temenku lho," kata Rena. "Memangnya kamu masih mau disini? Nungguin temenmu?" lanjutnya.
Haechan menggeleng singkat dan berjalan beriringan keluar kelas. "Ren," panggil pemuda itu. Koridor sekolah yang begitu sepi membuat suara pemuda itu begema.
"Kenapa?" jawabnya Rena.
Haechan memainkan kukunya, pemuda itu sedikit gugup. "Kalau kamu disakiti orang terdekatmu, kamu bakal gimana?" tanya Haechan.
Rena menghentikan langkahnya. "Kamu disakiti siapa?" balasnya bertanya.
Haechan berdecak, "Jawab dulu pertanyaanku."
Gadis itu kembali berjalan, "Ya tergantung sih, disakitin siapa dan karena apa dulu. Kalau disakiti orang kayak Renjun kamu balas ribut aja sama dia, gapapa kok aku mengizinkan." jawab Rena enteng.
Haechan yang tampak tidak puas dengan jawaban itu menghela napasnya. "Oh, gitu ya."
"Kalau disakiti sama Ayahmu gimana?"
Langkah kaki Rena berhenti lagi. Rena terdiam, kepalanya mendadak pusing. Napasnya memberat dan tak beraturan.
"Ren?" Tanya Haechan karena tak mendapat respon.
Rena tergagap, "K... kenapa?"
"Gapapa deh," tawanya sumbang. Pemuda itu menarik lengan Rena dan membawanya berjalan lebih cepat. "Ayo, katanya ditungguin temen kelompokmu." lanjutnya.
Mereka melintasi koridor sekolah yang sudah sepi dengan cepat. Ketika sampai di depan gerbang sekolah mereka berpisah. Haechan menunggu di halte untuk pulang, dan Rena pergi ke rumah temannya untuk melakukan tugas kelompok.
Ketika sampai di rumah teman sekelompoknya—Jisung, atau yang lebih suka Rena panggil Han—Rena lebih cenderung diam. Ia lebih banyak bekerja dibanding bersenda gurau, padahal biasanya ia lumayan suka diajak bercanda.
Mungkin karena kejadian tadi, saat Haechan bertanya padanya. Tentang rasanya disakiti Ayah, Rena terus terpikirkan hal itu. Pertanyaan itu terus mondar-mandir di kepalanya.
Bagaimana kalau disakiti Ayah?
Andai, aku masih punya, Chan. Dan lagi pula, ia tak menyakitiku. Aku yang merenggut nyawanya.
Ia tertawa getir.
"Tumben diem aja?" tanya Han. Mereka sedang di dapurnya, Rena dimintai tolong untuk mengambilkan air lagi karena sudah habis di depan. "Kenapa?" lanjut pemuda itu.
"Jangan ambil yang itu, ambil yang di kulkas biar lebih dingin. Kayaknya lebih seger kalo dingin." ucapnya memberikan perintah.
Rena mengangguk dan menurutinya. Gadis itu mengambil botol bening yang lumayan berat dari kulkas.
"Sebentar," tangan Rena dicekal oleh Han.
"Baik-baik aja kan sama Haechan? Dia nggak aneh-aneh kan?" tanya Han. Pemuda itu mengerutkan dahinya.
Rena mengangguk lemah sembari tersenyum. "Iya. Gak ada apa-apa kok sama Haechan." jawabnya.
Han menghembuskan napasnya kasar. "Kalau ada apa-apa, tolong bilang ya. Aku siap mendengarkan," katanya. Rena kembali mengangguk dan segera melangkah pergi dari dapur.
nggak ada apa-apa sama Haechan. Karena emang yang bermasalahnya ya, aku, Han.
Jam sudah menunjuk ke arah tepat lima sore ketika Haechan masih sibuk menatap ujung sepatunya. Pemuda itu terduduk di kursi ayunan taman dekat rumahnya. Karena kejadian kemarin, ia banyak melamun hari ini.
Tentu saja ia kepikiran. Secara rasional, dan biasanya ketika anak mendapatkan beasiswa atau kesempatan pertukaran seperti ini orang tua akan begitu bangga, tapi tidak dengan orang tuanya. Orang tuanya—terutama Ayahnya sangat membenci ini.
"Prajurit harus selalu mendengarkan dan melaksanakan perintah."
Begitu yang selalu beliau ucapkan tiap kali berdebat. Haechan ingin sekali membalasnya dengan berbagai macam argumen, namun akhir yang dia keluarkan hanya iya, dan mengangguk lemah.
Ia tak bisa melawan ayahnya sendiri. Bukan, bukan beban mental atau bagaimana, hanya saja ia berpikir jika Ayahnya benar-benar marah kali ini dan dia diusir, mau bagaimana nasib hidupnya?
Ia masih tak bergeming di tempatnya, padahal rintik hujan mulai menyapa permukaan bumi. Menyapu kehausan di sore ini.
"Bahkan hujan tahu aku sebegini menyedihkan, ya?" lirihnya. Pemuda itu mengelap mukanya yang terkena beberapa rintik kecil hujan dan segera beranjak dari kursi ayunan.
Ia menepi di toko kelontong—iya, ada toko yang dibangun warga komplek disini. "Permisi Bu, boleh numpang neduh kan ya?" tanyanya sopan, Ibu penjaga tersenyum, "Boleh, tapi mau pesan apa?" tanya Ibu itu seraya tertawa.
Haechan tergelak, "Teh hangat aja ya, Bu." jawabnya seraya tersenyum.
Si ibu mengacungkan tangan membentuk gestur 'oke' sambil masuk ke rumahnya dan menyeduhkannya teh.
Pemuda yang tengah bosan itu mengambil gawainya dan mengetikkan sesuatu.
H
Kapan selesai?
Aku kehujananR
blm pulang?
dari mana?H
MainR
bohong
readkalau bohong yang logis
jangan basah, nanti sakit
besok harus masuk
kabari aku lagi
chan
deliveredRena mengerutkan dahinya. Pesannya tidak terbaca? atau tidak dibaca?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfiction𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...