[☼]Sore ini Haechan memutuskan untuk tidak pulang dengan kekasihnya, Rena. Pemuda itu akan pulang lebih cepat hari ini untuk bertemu Ayahnya dan membicarakan tentang beasiswa yang ia ambil, seperti yang waktu itu Rena katakan padanya.
Pemuda itu sangat tidak bersemangat. Entah kenapa, bertemu Ayahnya membuatnya merasa begitu gundah. Ketika dengannya, ia selalu merasa direndahkan dan diintimidasi. Tatapannya, bicaranya dan kelakuan kasarnya.
Haechan benci itu semua.
Semua itu berawal dari tahun akhir sekolah menengah pertama. Malam itu sangat sepi, ketika mereka makan malam.
"Kamu jadi masuk akmil?" tanya Ayahnya waktu itu.
Haechan menaruh sendoknya, "Aku bakal tetep masuk sekolah biasa. Haechan gak mau jadi tentara atau masuk militer. Maaf, Yah." pemuda itu menjawab dengan tegas. Ia begitu kalut dalam hatinya, mencoba untuk tidak menyesali sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Rahang Ayah mengeras, mimik wajahnya mulai terlihat serius. "Ayah pernah bilang, kalau kamu harus masuk militer, kan?" tanyanya.
"Iya, tapi maaf, Yah. Aku keberatan. Aku bakal tetap masuk sekolah biasa dan ngejar cita-cita untuk kerja di kedutaan." jawab Haechan.
Ayahnya mengambil napas sebanyak mungkin, mencoba mengurangi amarah yang mulai menguasainya. "Kamu mau mengukur kesabaran Ayah atau mencoba memberontak?"
Pemuda itu menundukkan kepalanya. "Maaf, aku nggak punya jawaban untuk pertanyaan itu."
Haechan mencoba menarik napas pelan sebanyak mungkin, rasanya jantungnya akan segera meledak karena terlalu gugup.
Ayah menutup matanya, dan mengangguk pelan. "Kalau begitu maumu, kita lihat bagaimana kamu bisa bertahan sampai akhir nantinya."
Tidak ada kata-kata lain yang terdengar malam itu. Sunyi begitu sering menyelimuti rumah itu, hingga Haechan dibuat terbiasa.
Sebenarnya ia lega karena ia pikir Ayahnya akan main tangan seperti yang biasa ia lakukan. Haechan sudah banyak memantapkan dirinya untuk hal itu tadi. Tapi syukurlah hal itu tak terjadi.
Namun, pemuda itu belum boleh tenang. Ayahnya tidak akan diam atas segalanya.
Memori tentang hari itu kembali berputar dalam pikirannya. Hari dimana pertama kali Haechan menyuarakan apa yang dia mau. Entah harus dikategorikan sebagai kenangan buruk atau kenangan baik, ia tak tahu.
Yang jelas malam ini akan jadi malam yang panjang untuk dirinya. Malam yang panjang dan mengerikan.
[☼]
"Chan!" panggil gadis itu dari ujung koridor. "Gimana kemarin? Gak seburuk yang kamu pikir kan?" tanya Rena begitu ia ada disampingnya.
Haechan tersenyum, "Iya, tidak seburuk yang kupikir." Jauh lebih buruk ternyata.
Rena mengembuskan napasnya lega. "Syukurlah. Selamat ya! Berarti akhir tahun ini kamu berangkat, kan?"
Haechan mengangguk antusias. Rena tersenyum melihatnya. Rena memegang lengan pemuda itu, dan menariknya ke kelas segera karena bel sudah hampir berbunyi. Tanpa ia sadari, gadis itu memengan bekas memar pemuda itu semalam. Haechan meringis, pelan sekali mencoba ia menahan rasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfiction𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...