"Kau sudah kalah, Haechan. Lebih baik kamu jujur." Kata Rena, melunakkan nada bicaranya.
Ia melepas earphone yang masih menempel di telinganya. "Aku tahu, bukan hakku untuk memaksamu. Tapi aku yakin, kamu tidak akan cerita kalau aku tidak memaksamu."
Rena memandangku penuh arti. Aku menundukkan kepalaku. Aku menangis. Aku tidak kuat lagi. Runtuh Semua pertahananku, semua dinding yang kubuat selama ini.
Di depannya aku tidak bisa berpura-pura. Di depannya aku adalah porselen yang bisa kapan saja hancur. Entah mengapa, aku begitu jujur kepadanya. Aku sendiri tidak mengerti.
Perasaan yang selalu ada hanya saat bersama Rena. Rasa ingin dimengerti dan ingin mengerti. Rasa yang membuat hatiku hangat dan tentram.
Akhirnya,
Aku menangis.
"Jangan takut untuk cerita, Chan. Kamu tidak pernah sendiri," katanya sambil tersenyum dan membawaku ke dalam rengkuhannya.
Hangat.
Hangat sekali. Aku suka dekapan ini.
"Kalau memang tidak kuat, lepaskan saja. Kamu terlalu lama menyimpannya sendiri. Kesedihanmu punya hak untuk menunjukan dirinya."
"Ren—"
"Ssst, tidak usah bicara. Keluarkan semuanya. Tenang, semua akan baik-baik saja," Rena masih memelukku.
Kata-katanya, jujur membuatku sedikit lebih tenang. Tidak ada yang pernah mengatakan kalau aku boleh mengeluarkan kesedihanku. Hanya dia, yang terus terang membawa kesedihanku agar lebih tenang. Disaat orang lain menekanku, agar kesedihanku selalu kupendam, ia adalah satu-satunya yang mengizinkanku untuk menangis.
"Jangan pernah takut untuk menangis, Chan."
"Jangan pernah takut untuk menangis,"
Tangisanku makin hebat.
Salahkah aku jatuh cinta padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA || HAECHAN
Fanfikce𝐝𝐢𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐤𝐚𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐢𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠, 𝐚𝐤𝐮 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐦𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐫𝐢𝐧𝐭𝐢𝐤 𝐤𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐚𝐭𝐮𝐡 𝐤𝐞 𝐛𝐮𝐦𝐢. sebuah kisah pendek tentang gadis pengagum matahari. amigdala 01, com...